DALAM bayangan Ketut Tantri, Bali adalah "Nusa Damai," sebuah surga tropis yang abadi, terpahat dalam lembaran "Revolusi di Nusa Damai." Namun, di persimpangan abad, mimpi itu terkoyak. Ombak Sanur tak lagi melagukan harmoni purba, melainkan berbaur dengan deru mesin dan hiruk pikuk wisatawan. Sawah Ubud, yang dahulu bagai permadani hijau, kini susut, terimpit vila-vila mewah dan bangunan komersial yang menjulang.
"Dulu, Bali adalah tanah di mana harmoni manusia dan alam adalah satu," desah seorang tetua di Ubud, matanya memandang jauh ke masa lalu. "Kini, keserakahan telah merobek kain itu."
Kuta, yang dulunya adalah desa nelayan yang tenang, kini berdenyut seperti jantung metropolis. Gedung-gedung beton menghalau langit senja, mengabaikan siluet gunung suci. Jalanan macet oleh kendaraan, tumpukan sampah plastik merusak garis pantai, dan kehidupan malam berdenyut dengan gemerlap hedonisme yang asing.
"Kami datang mencari surga," kata seorang wisatawan asing di Kuta, suaranya tenggelam dalam kebisingan. "Tapi yang kami temukan adalah kepingan mimpi yang pecah."
Canggu, yang pernah menjadi tempat perlindungan bagi peselancar dan seniman, kini menjadi labirin beton dan kafe trendi. Vila-vila mewah menggerogoti sawah, techno mengaum di udara, dan aroma dupa bercampur dengan asap knalpot.
Ubud, yang dijanjikan sebagai pusat spiritual dan budaya, berjuang mempertahankan jiwa aslinya. Kemacetan merayap di jalan-jalan desa, pedagang kaki lima memenuhi trotoar, dan pertunjukan tari tradisional berjuang di tengah hiruk pikuk pameran seni kontemporer.
"Bali kini terkoyak, kehilangan sebagian dari dirinya," kata seorang seniman di Ubud, suaranya parau. "Ia adalah nusa yang bingung, terseret arus yang tak dikenalnya."
Sampah, kemacetan, kriminalitas—bayang-bayang kota metropolitan merayap di pulau para dewa. Mampukah Bali mereparasi mimpi yang terkoyak, ataukah ia akan tenggelam dalam arus modernitas yang tak terhindarkan? Pertanyaan ini menggantung di udara, seperti aroma dupa di pura-pura kuno, menunggu jawaban dari para dewa dan manusia.
(isu/suteja)
Baca juga:
Subak, Sistem Irigasi Bali Lestari Seribu Tahun