INVASI Jepang ke Indonesia, termasuk Bali, pada awal tahun 1942 menjadi titik balik signifikan dalam sejarah kepolisian di Pulau Dewata. Sistem kepolisian yang telah dibangun Belanda runtuh digantikan oleh struktur baru yang sepenuhnya berada di bawah kendali militer Jepang. Ini bukan sekadar pergantian kekuasaan, melainkan pergeseran filosofi dan tujuan kepolisian. Setelah menguasai Bali, Jepang segera membubarkan semua organisasi kepolisian peninggalan Belanda. Mereka membentuk ulang kepolisian dengan nama Tokubetsu Keisatsutai (Pasukan Polisi Istimewa). Prof Dr Susanto Tirtoprodjo, dalam bukunya Sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1982), menjelaskan dengan tegas bahwa: "Pembentukan ini bertujuan untuk menciptakan alat kontrol yang lebih efektif dan loyal terhadap pemerintahan militer Jepang." Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa kepolisian pada masa itu berfungsi sebagai instrumen vital bagi kepentingan militer Jepang, bukan lagi sebagai penegak hukum yang independen. Berbeda dengan era Belanda yang masih memiliki sedikit nuansa "sipil", kepolisian Jepang sepenuhnya bersifat militeristik. Tugas utama Tokubetsu Keisatsutai adalah menjaga keamanan dalam negeri, melakukan pengawasan ketat terhadap pergerakan masyarakat, dan memastikan kelancaran logistik perang Jepang. Mereka terlibat dalam pengumpulan informasi, penangkapan terhadap mereka yang dicurigai sebagai mata-mata atau pemberontak, serta penegakan disiplin yang keras. Dr Mitsuo Nakamura, seorang ahli sejarah Jepang terkemuka, dalam studinya mengenai pendudukan Jepang di Asia Tenggara, menyoroti bahwa: "Kepolisian pada masa ini juga difungsikan untuk memobilisasi sumber daya dan tenaga kerja (Romusha) demi kepentingan perang Jepang." Ini menunjukkan betapa luasnya jangkauan dan intervensi kepolisian dalam kehidupan masyarakat saat itu, bahkan hingga ke sektor tenaga kerja. Meskipun demikian, periode ini juga menjadi ajang pembelajaran tak langsung bagi banyak pemuda pribumi yang bergabung dengan kepolisian. Mereka mendapatkan pelatihan militer dan disiplin, yang kelak akan sangat berguna dalam perjuangan kemerdekaan. Mayjen (Purn) Soekanto Tjokrodiatmodjo, salah satu tokoh kepolisian awal Indonesia dan Kepala Jawatan Kepolisian Negara pertama, dalam memoarnya Perjalanan Hidupku (Jakarta: Penerbit Alda, 1974), mengisahkan bagaimana: "Beberapa polisi pribumi mulai merasakan gejolak nasionalisme di bawah tekanan pendudukan Jepang, meskipun mereka harus berpura-pura setia." Data menunjukkan bahwa Jepang sangat mengandalkan polisi pribumi untuk operasional sehari-hari karena keterbatasan personel mereka sendiri, sehingga membuka ruang bagi interaksi dan pemikiran baru di kalangan bumiputera. Dengan demikian, masa pendudukan Jepang, meskipun kejam dan penuh tekanan, secara tidak langsung membentuk bibit-bibit kesadaran nasional di tubuh kepolisian. Struktur yang dibentuk Jepang, dengan segala kekurangannya, menjadi landasan awal bagi pembentukan kepolisian nasional Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan. (tim redaksi)
Baca juga :
• Reformasi Polri: Tantangan Modern
• Orde Lama-Baru: Konsolidasi Polisi
• Polisi Republik: Perjuangan Kemerdekaan