SEJARAH kepolisian di Bali tak bisa dilepaskan dari jejak panjang kolonialisme Belanda. Sebelum masuknya kekuatan Eropa, tatanan keamanan di Pulau Dewata dipegang erat oleh sistem adat, dengan peran pecalang sebagai penjaga ketertiban dan institusi kerajaan lokal yang memiliki otoritas penuh. Namun, kedatangan Belanda secara bertahap mengikis sistem ini dan memperkenalkan model kepolisian modern yang disesuaikan dengan kepentingan mereka. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Marechaussee, sebuah korps militer-polisi yang didirikan Belanda, menjadi ujung tombak dalam menegakkan kekuasaan di berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Bali. Mereka tidak hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga berperan aktif dalam operasi militer untuk menumpas perlawanan lokal. Prof Dr A.G Pringgodigdo, seorang ahli hukum dan sejarah terkemuka, dalam bukunya Sejarah Hukum Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1964), dengan jelas menyatakan: "Pembentukan Marechaussee merupakan upaya sistematis Belanda untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan menekan gejolak sosial pasca-perang-perang kolonial." Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa fungsi kepolisian di masa itu tak hanya sebatas penegakan hukum, melainkan juga alat politik untuk memantapkan cengkeraman kekuasaan Belanda. Seiring berjalannya waktu, Belanda mulai merekrut pribumi untuk menjadi bagian dari kepolisian, meskipun dengan posisi subordinat dan pengawasan ketat. Mereka ditempatkan dalam hierarki yang jelas, di mana posisi strategis dan pengambilan keputusan tetap di tangan pejabat Belanda. Dr Robert Cribb, seorang sejarawan yang banyak meneliti kepolisian di Indonesia, dalam artikelnya Policing the Indonesian Archipelago: From Colonial Rule to Reformasi (terbitan Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 157, No. 3, 2001), menjelaskan dilema ini: "Polisi pribumi seringkali dihadapkan pada dilema loyalitas antara komunitas mereka dan rezim kolonial yang mereka layani." Ini menunjukkan kompleksitas peran polisi pribumi yang terjebak di antara dua kepentingan. Tugas utama mereka adalah menjaga ketertiban umum, menindak kejahatan ringan seperti pencurian atau perjudian, serta memastikan ketaatan penduduk terhadap peraturan-peraturan kolonial, termasuk sistem tanam paksa atau pungutan pajak. Data dari arsip kolonial, seperti yang dirinci oleh Ir J.C Van Eerde dalam publikasi resmi pemerintah kolonial De Politie in Nederlandsch-Indie (terbit tahun 1923), menunjukkan bahwa jumlah polisi pribumi terus meningkat seiring dengan meluasnya wilayah kontrol Belanda di Bali. Mereka ditempatkan di pos-pos polisi di berbagai distrik, menjadi perpanjangan tangan kekuasaan kolonial hingga ke pelosok desa. Van Eerde menekankan efisiensi dalam menjaga keamanan dan mengontrol populasi sebagai prioritas utama. Meskipun demikian, keberadaan polisi kolonial ini juga seringkali memicu sentimen anti-Belanda di kalangan masyarakat, yang melihat mereka sebagai alat penindas. Dengan demikian, kepolisian di era kolonial Belanda di Bali adalah representasi dari sebuah sistem yang dirancang untuk menjaga hegemoni kekuasaan, menekan potensi perlawanan, dan memastikan kelancaran roda eksploitasi sumber daya. Sebuah babak awal yang fundamental dalam perjalanan panjang sejarah kepolisian di Pulau Dewata. (tim redaksi)
Baca juga :
• Bung Karno, Seniman Bali: Cinta dalam Lukisan
• Bung Karno dan Bisik Bumi Bali
• Menyibak Jiwa Kartini: Perspektif Sastra Pramoedya Ananta Toer