Search

Home / Aktual / Ragam

Pasir Kuta, Denyut Nadi Sejarah

Editor   |    06 April 2025    |   04:04:00 WITA

Pasir Kuta, Denyut Nadi Sejarah
Ilustrasi: Pantai Kuta tempo dulu. (podiumnews)

HAMPARAN pasir putih Kuta, alunan ombak berpadu dengan bisikan angin, merangkai kisah panjang yang terukir dalam setiap butiran pasir. Dari jangkar-jangkar purba yang menjejakkan sejarah, hingga air mata senja yang tak terlupakan, Kuta adalah simfoni pesisir, tempat masa lalu dan masa kini menari dalam harmoni yang memikat.

Di abad ke-14, di bawah naungan langit purba, sebuah armada perkasa Majapahit mengukir jejak di pesisir ini, menandai awal mula sejarah Kuta. Bukan sekadar persinggahan, melainkan sebuah pertanda, lahirnya peradaban baru di tanah Bali.

"Kuta mulai dikenal sejak 1336 M," gumam lontar-lontar kuno, mengisahkan bagaimana "Gajah Mada dan pasukannya mendarat di daerah yang kelak dikenal sebagai Tuban". Daerah itu dinamakan Tuban, mengenang kemiripan pesisirnya dengan pantai Tuban di tanah Jawa Timur. Tuban, laksana kanvas kosong, menanti sentuhan takdir, siap diwarnai oleh zaman.

Berabad-abad berselang, di abad ke-19, Mads Lange tiba, seorang pedagang dari Denmark, dengan mata yang melihat lebih dari sekadar barang dagangan. "Pesisir ini menyimpan pesona tak terlukiskan," tuturnya, "perpaduan antara alam dan niaga." Ia melihat Kuta sebagai gerbang, tempat impian dan rempah saling bertukar.

Lalu pada awal abad ke-20, suara Hugh Mahbett menggema, "Kuta dengan pantainya yang memukau," serunya, "akan memikat para penjelajah." Kata-katanya, yang terangkum dalam "Praise to Kuta," adalah benih yang kelak tumbuh menjadi hutan pariwisata.

Kemudian di tahun 1930-an, K`tut Tantri (Laura Constance Christina Wheeler) hadir, membawa semangat pemberontakan yang berbisik di setiap hembusan angin. Lahir di Skotlandia, dan menemukan jiwanya di Bali, ia menulis, "Bali adalah pulau perlawanan," dalam "Revolt in Paradise." Hotel "Swara Segara," buah dari mimpinya, menjadi jembatan antara budaya.

Tahun 1970-an, Kuta meledak dalam simfoni warna dan cahaya. Ombak menari di bawah senja yang membara, jutaan pasang mata menyaksikan pertunjukan alam yang tak terlupakan. "Pantai Kuta," desah para pelancong, "adalah panggung sang mentari terbenam."

Namun, di balik keindahan itu, luka menganga. Bom Bali I, 12 Oktober 2002, dan Bom Bali II, 1 Oktober 2005, mengoyak ketenangan. Tangis dan amarah berpadu dengan wangi dupa, namun semangat Kuta tak pernah pudar.

K`tut Tantri, abunya ditaburkan di Kuta, 27 Juli 1997, menyatu dengan pasir dan ombak, menjadi bagian dari jiwa pesisir ini. Suaranya terus menggema, mengingatkan akan kekuatan dan keindahan yang tak lekang waktu.

Kuta bangkit, bagai phoenix dari abu, merajut kembali harapan di setiap lembar senja. Di sini, tempat waktu dan kenangan berdansa abadi, Kuta terus menulis kisahnya, dengan ombak sebagai pena dan pasir sebagai lembaran catatannya. (isu/suteja)

 

 

 

Baca juga :
  • Rp2 Triliun dari Tambang Ancam Karang Raja Ampat
  • JMSI Bahas Masa Depan Media Siber di Tengah Badai Disinformasi
  • Robot Humanoid Unjuk Gigi di Pabrik, Tak Ganti Manusia?