KLUNGKUNG, PODIUMNEWS.com - Di balik riuhnya scrolling media sosial dan gemerlapnya dunia maya, sebuah gelombang kecemasan diam-diam menghantamGenerasi Z di Klungkung.
Stigma yang dulu membungkam perlahan retak, membuka ruang bagi bisikan-bisikan tentang stres akademik yang mencekik, tekanan sosial yang tak kasatmata, dan labirin pikiran yang menyesakkan.
Kesehatan mental, isu yang dulunya tabu, kini mulai berani disuarakan, meski masih lirih.
Mentari pagi di Klungkung menyapa dengan kehangatan khasnya, namun tidak bagi Arya (19), seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Denpasar yang setiap hari harus menempuh perjalanan dari Klungkung.
Di balik senyum tipisnya, Arya menyimpan beban yang tak ringan. Tugas kuliah yang menumpuk, ekspektasi orang tua, dan bayang-bayang masa depan yang tak pasti, bagai rantai yang mengikat pikirannya.
Malam-malamnya seringkali diisi dengan mata yang enggan terpejam, ditemani suara bising pikiran sendiri.
"Dulu, kalau merasa down, rasanya malu sekali mau cerita ke siapa-siapa. Takut dibilang lemah atau kurang iman," lirih Arya, ditemui di sebuah kedai kopi sederhana di pusat Klungkung, pada Jumat (18/4/2025).
Matanya menerawang, mencoba merangkai kata untuk menggambarkan gejolak di dalam dirinya.
"Tapi sekarang, lihat teman-teman juga banyak yang merasakan hal serupa. Jadi, sedikit lebih berani untuk mengakui kalau memang ada yang tidak beres," sambungnya.
Arya bercerita tentang bagaimana media sosial, yang seharusnya menjadi jendela dunia, justru seringkali menjadi sumber tekanan baru.
Melihat unggahan teman-teman yang tampak bahagia dan sukses, tak jarang memicu perasaan insecure dan tertinggal.
"Rasanya semua orang berlomba-lomba pamer yang bagus-bagus. Sementara kita di sini, berjuang dengan diri sendiri," ujarnya dengan nada getir.
Kecemasan bukan lagi sekadar istilah asing bagi Arya dan teman-temannya. Jantung berdebar tanpa alasan, keringat dingin di telapak tangan saat menghadapi ujian, atau bahkan sekadar memikirkan interaksi sosial, menjadi bagian dari keseharian. Mereka mulai mencari informasi, mengikuti akun-akun yang membahas kesehatan mental, dan mencoba berbagai cara untuk meredakan gempuran di dalam diri.
"Sekarang sudah mulai banyak awareness tentang kesehatan mental. Ada teman yang berani cerita ke psikolog, ada juga yang membentuk support group kecil-kecilan," lanjut Arya.
"Walaupun masih belum mudah, setidaknya ada harapan kalau kita tidak sendirian dalam menghadapi ini."
Jeritan senyap Generasi Z di Klungkung adalah cerminan dari isu global yang semakin mendesak.
Mereka adalah generasi yang tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, dan tekanan digital yang konstan. Keterbukaan yang mulai tumbuh adalah langkah awal yang penting.
Namun, dukungan yang lebih luas dari keluarga, sekolah, dan masyarakat Klungkung secara keseluruhan, sangat dibutuhkan agar labirin pikiran itu tidak semakin menyesakkan, dan setiap anak muda memiliki kesempatan untuk menemukan jalan keluar. (fathur)
Baca juga:
Kisah Farani, Wisudawan Double Degree Pertama FH UNAIR-Maastricht University