Search

Home / Sorot / Sosial Budaya

Monumen Bajra Sandhi: Simbol Perjuangan Rakyat Bali

Nyoman Sukadana   |    11 Agustus 2025    |   05:14:00 WITA

Monumen Bajra Sandhi: Simbol Perjuangan Rakyat Bali
Monumen Bajra Sandhi di Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar, menjadi simbol perjuangan rakyat Bali dan pusat edukasi sejarah. (denpasarkota.go.id)

BERDIRI megah di tengah Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar, Monumen Bajra Sandhi menjadi salah satu ikon penting yang merekam perjalanan sejarah perjuangan rakyat Bali. Nama “Bajra Sandhi” diambil dari bahasa Sanskerta. Bajra berarti genta atau lonceng pendeta, sedangkan Sandhi berarti suci. Bentuknya yang menyerupai genta raksasa melambangkan suara kebenaran yang bergema dari generasi ke generasi.

Monumen ini bukan sekadar bangunan monumental, tetapi simbol pengorbanan rakyat Bali dalam mempertahankan kehormatan dan kemerdekaan. Menurut Dinas Kebudayaan Provinsi Bali (2021), ide pembangunan monumen ini muncul pada 1980-an sebagai upaya mengabadikan spirit perjuangan dan nilai-nilai luhur kebudayaan Bali ke dalam sebuah karya arsitektur yang bisa dinikmati publik.

Pembangunan fisik dimulai pada 1987 dan rampung pada 2001, diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Arsiteknya, Ir. Ida Bagus Gede Yadnya, merancang monumen dengan filosofi arsitektur Bali yang kental. Ketinggian bangunan mencapai 45 meter dengan 33 diorama di dalamnya, yang menceritakan perjalanan panjang rakyat Bali dari masa prasejarah, era kerajaan, masa kolonial Belanda, perjuangan kemerdekaan, hingga masa pembangunan modern.

Dalam buku Monumen Bajra Sandhi dan Spirit Perjuangan Rakyat Bali (Denpasar: Udayana University Press, 2015), Dr. I Wayan Ardika menjelaskan:

“Bajra Sandhi tidak hanya menampilkan fakta sejarah, tetapi juga menyampaikan pesan moral bahwa perjuangan tidak berhenti pada medan perang. Pembangunan, pendidikan, dan pelestarian budaya adalah bentuk perjuangan generasi masa kini.”

Salah satu diorama yang paling menarik perhatian adalah adegan Puputan Badung 1906. Adegan ini menampilkan raja dan rakyat yang maju melawan pasukan Belanda tanpa senjata api, memilih mati terhormat daripada hidup dalam penindasan. Adegan lain menggambarkan Puputan Klungkung 1908, serta kisah heroik tokoh-tokoh seperti I Gusti Ngurah Rai dan Ciung Wanara dalam Puputan Margarana 1946.

Monumen Bajra Sandhi dibagi menjadi tiga bagian utama: Utamaning Utama Mandala (bagian inti), Madyaning Mandala (bagian tengah), dan Nistaning Mandala (bagian luar). Filosofi ini mengikuti konsep Tri Mandala dalam arsitektur Bali yang membagi ruang menjadi tiga tingkatan kesakralan.

Selain sebagai destinasi wisata sejarah, monumen ini juga berfungsi sebagai pusat edukasi. Pelajar dari berbagai daerah rutin mengunjungi untuk mempelajari sejarah Bali melalui diorama dan koleksi dokumentasi yang ditampilkan. Data Dinas Pariwisata Kota Denpasar (2023) mencatat, rata-rata kunjungan mencapai 200–300 orang per hari, dengan puncak kunjungan pada liburan sekolah dan hari besar nasional.

Bagi masyarakat Bali, Bajra Sandhi adalah cermin dari masa lalu dan pengingat akan identitas budaya. Bagi wisatawan, monumen ini adalah gerbang untuk memahami jiwa perjuangan dan nilai luhur yang membentuk Bali modern. Di tengah hiruk-pikuk Denpasar, lonceng perjuangan Bajra Sandhi terus berdentang, memanggil setiap orang untuk mengingat bahwa kemerdekaan adalah hasil dari pengorbanan yang tak ternilai.

(tim redaksi)

Baca juga :
  • Pahlawan Tak Tercatat: Kisah Pejuang Desa Bali di Masa Revolusi
  • Puputan Klungkung 1908: Warisan Semangat Perlawanan
  • Polisi Kolonial: Penjaga Kuasa Belanda