DI JANTUNG Kerajaan Klungkung, 28 April 1908, sejarah Bali mencatat salah satu babak paling tragis dan heroik: Puputan Klungkung. Pertempuran ini menjadi simbol kehormatan dan perlawanan rakyat Bali terhadap kolonialisme Belanda, sekaligus menandai runtuhnya kekuasaan kerajaan terakhir di Pulau Dewata. Puputan dalam bahasa Bali berarti perang sampai titik darah penghabisan, bukan sekadar istilah perang melainkan pernyataan kehormatan. Ketika pasukan Belanda mengultimatum Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe II, untuk menyerah dan menerima kekuasaan kolonial, sang raja memilih jalan puputan. Dengan mengenakan pakaian kebesaran kerajaan dan diiringi keluarga, bangsawan, serta prajurit, ia berjalan menuju medan pertempuran di depan Puri Klungkung. Sejarawan Henk Schulte Nordholt dalam Bali: Colonial Conceptions and Political Change 1700–1940 (KITLV Press, 1996) menulis: “Puputan Klungkung adalah puncak dari serangkaian perang puputan di Bali yang dimulai pada abad ke-19. Ia merepresentasikan pilihan kolektif untuk mati terhormat daripada hidup di bawah kendali asing.” Pertempuran yang berlangsung hanya beberapa jam itu menewaskan sang raja beserta sebagian besar keluarga dan pengikutnya. Catatan Belanda yang termuat dalam De Laatste Puputan (Arsip Kolonial, 1908) menyebut sekitar 100 orang tewas di pihak Klungkung, sementara korban di pihak Belanda jauh lebih sedikit, namun mereka tercatat terkejut oleh keberanian rakyat Bali yang maju tanpa senjata api. Penyebab langsung puputan ini berawal dari sengketa ekonomi dan politik. Belanda menuduh Kerajaan Klungkung melindungi pangeran dari Kerajaan Bangli yang menentang pajak kolonial. Tuduhan ini menjadi dalih untuk melancarkan ekspedisi militer. Namun di balik itu, seperti yang dijelaskan I Made Wijaya dalam Bali: Sekala and Niskala (1986), ada keinginan Belanda untuk menuntaskan dominasi mereka di seluruh Bali setelah sebelumnya menaklukkan Badung, Karangasem, dan Gianyar. Kini, Puri Agung Klungkung dan Monumen Puputan Klungkung berdiri di alun-alun kota sebagai pengingat peristiwa ini. Monumen tersebut menggambarkan Dewa Agung Jambe II bersama keluarga kerajaan dan pengikutnya, lengkap dengan keris terhunus, melangkah tegak menuju medan pertempuran. Data Dinas Kebudayaan Kabupaten Klungkung (2022) menyebutkan bahwa setiap 28 April, masyarakat setempat menggelar upacara peringatan Puputan Klungkung. Acara ini diisi dengan persembahan bunga di monumen, pembacaan sejarah puputan, dan pementasan tari-tari klasik kerajaan. Bagi masyarakat Bali, Puputan Klungkung adalah warisan semangat perlawanan yang tak lekang oleh waktu. Ia bukan hanya catatan sejarah, tetapi cermin nilai keberanian, kehormatan, dan kesetiaan pada tanah air. Dari jantung kerajaan terakhir di Bali, semangat itu terus hidup, menjadi bagian dari identitas kolektif rakyat Bali hingga hari ini. (tim redaksi)
Baca juga :
• Pahlawan Tak Tercatat: Kisah Pejuang Desa Bali di Masa Revolusi
• Monumen Bajra Sandhi: Simbol Perjuangan Rakyat Bali
• Polisi Kolonial: Penjaga Kuasa Belanda