Search

Home / Sorot / Politik

Puputan Margarana: Perlawanan Terakhir di Bali

Nyoman Sukadana   |    11 Agustus 2025    |   05:02:00 WITA

Puputan Margarana: Perlawanan Terakhir di Bali
Letkol I Gusti Ngurah Rai, sosok pahlawan yang turut gugur dalam pertempuran Puputan Margarana.(Shutterstock/Prachaya Roekdeethaweesab)

SEJARAH perjuangan kemerdekaan di Bali mencapai puncaknya pada peristiwa Puputan Margarana, 20 November 1946. Pertempuran ini menjadi simbol pengorbanan total rakyat Bali, dipimpin oleh Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai bersama pasukan Ciung Wanara. Dalam bahasa Bali, puputan berarti perang habis-habisan sampai titik darah penghabisan. Istilah ini bukan sekadar strategi perang, melainkan bagian dari nilai kehormatan dan martabat yang telah lama hidup dalam tradisi masyarakat Bali.

Pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945, kondisi di Bali jauh dari kata damai. Kembalinya Belanda melalui NICA memicu gelombang ketegangan dan perlawanan. Menurut Robert Pringle dalam bukunya A Short History of Bali (2004):

"Puputan Margarana adalah salah satu aksi militer paling heroik di Indonesia pasca-1945, memadukan strategi gerilya dengan semangat pengorbanan total yang khas Bali."

I Gusti Ngurah Rai, yang baru kembali dari pelatihan militer di Jawa, membentuk pasukan Ciung Wanara untuk menyatukan kekuatan perlawanan yang terpecah. Setelah beberapa bentrokan kecil, pihak Belanda menawarkan perundingan. Tawaran itu ditolak mentah-mentah. Arsip Documenta Historica Tentara Nasional Indonesia (Jakarta: Pusjarah TNI, 1980) mencatat bahwa penolakan ini didasari keyakinan bahwa kemerdekaan tidak untuk dinegosiasikan, melainkan dipertahankan dengan segala cara.

Puncaknya terjadi pada pagi 20 November 1946. Pasukan Ciung Wanara yang berjumlah kurang dari seratus orang menghadapi serangan besar-besaran dari Belanda yang dilengkapi artileri dan dukungan udara. Pertempuran berlangsung di Desa Marga, Tabanan, dan berakhir dengan gugurnya seluruh anggota pasukan, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Sumber kolonial Belanda dalam Verslag van de Militaire Operaties op Bali (1947) mencatat pihak Belanda kehilangan sekitar 400 prajurit.

Dr. Anak Agung Putu Agung dalam Bali pada Masa Revolusi (Denpasar: Udayana University Press, 1996) menegaskan:

"Puputan Margarana bukan sekadar kekalahan militer. Ia adalah pernyataan politik dan moral bahwa rakyat Bali tidak akan tunduk pada kekuasaan kolonial, berapa pun harganya."

Kini, Taman Makam Pahlawan Margarana berdiri di lokasi pertempuran sebagai penghormatan abadi. Kompleks ini mencakup makam massal, monumen Candi Pahlawan setinggi 17 meter, museum sejarah, dan prasasti yang memuat surat balasan I Gusti Ngurah Rai kepada komandan Belanda. Surat tersebut berisi penegasan bahwa rakyat Bali lebih memilih mati daripada kembali berada di bawah kekuasaan kolonial.

Data Dinas Kebudayaan Provinsi Bali (2020) menunjukkan bahwa setiap tahun ribuan orang berkunjung untuk mengenang peristiwa ini, terutama pada peringatan Hari Puputan Margarana. Monumen dan museum di lokasi ini tidak hanya menjadi tempat ziarah, tetapi juga pusat edukasi sejarah bagi generasi muda.

Puputan Margarana telah menempatkan Bali dalam peta sejarah nasional sebagai daerah yang mempertahankan kemerdekaan dengan pengorbanan nyawa. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hadiah, melainkan hasil dari keberanian kolektif, tekad yang tak tergoyahkan, dan pengorbanan tanpa pamrih.

(tim redaksi)

Baca juga :
  • Jejak Perjuangan di Desa Marga: Dari Ladang Hingga Medan Pertempuran
  • Bung Karno: Politik dalam Simbol Bali
  • Bali Inspirasi Politik Bung Karno