DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Ujian akhir tak ubahnya musim gugur di kampus yang terlihat tenang di permukaan, namun banyak daun yang gugur dalam diam. Bagi sebagian mahasiswa, ini bukan sekadar fase akademik, tapi momen penuh tekanan yang bisa mengguncang kesehatan mental secara serius. Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dari Fakultas Ilmu Kesehatan Kedokteran dan Ilmu Alam (FIKKIA) Universitas Airlangga, dr Damba Bestari SpKJ, menegaskan bahwa stres menjelang ujian adalah reaksi wajar tubuh. Namun, bila tidak dikelola dengan baik, ia bisa berkembang menjadi ancaman yang tak terlihat. “Tubuh kita memang dirancang untuk merespons stres lewat mekanisme fight or flight, yang memicu keluarnya hormon kortisol dan adrenalin. Tapi kalau berlebihan, justru mengganggu fokus, suasana hati, bahkan kesehatan fisik,” kata dr Damba melalui keterangan pers, Rabu (18/6/2025). Dalam studi terbaru dari jurnal Exam Season Stress and Student Mental Health (George, 2024), ditemukan bahwa gejala seperti kecemasan berat, perubahan mood ekstrem, hingga kecenderungan melukai diri sendiri dan bunuh diri meningkat tajam selama masa ujian. Sebuah sinyal bahwa tekanan akademik tak bisa dianggap enteng. Di balik angka dan istilah medis itu, ada cerita sunyi mahasiswa yang belajar tanpa tidur, menahan cemas, atau merasa gagal hanya karena nilai. “Perfeksionisme dan rasa takut mengecewakan orang tua atau diri sendiri sering kali jadi akar stres yang dalam,” ujar dr Damba. Ia juga mengkritik budaya yang romantis terhadap kerja keras ekstrem. “Kopi dan begadang itu bukan solusi. Itu pengalihan sementara. Yang lebih penting justru tidur cukup, makan teratur, dan menjaga koneksi sosial,” katanya. Menurutnya, mahasiswa perlu memahami bahwa mereka bukan mesin penghasil nilai. Mereka adalah manusia yang punya emosi, lelah, dan batas wajar. Ia menyarankan strategi sederhana namun efektif: mencicil belajar dari awal, memberi jeda (microbreak), berbagi cerita dengan teman, dan jika perlu, mencari bantuan profesional tanpa rasa malu. “Ujian itu penting, tapi kesehatan mental jauh lebih penting. Jangan anggap normal kalau tiap musim ujian selalu merasa tersiksa. Kampus harus mulai membuka ruang aman untuk itu,” pesannya. Dalam tekanan dunia akademik yang kerap kompetitif dan menuntut, suara seperti dr Damba adalah pengingat: bahwa keberhasilan bukan hanya soal angka di transkrip, tapi juga tentang bertahan dengan sehat. Bahwa ujian bukan perang, dan mahasiswa bukan mesin. (riki/suteja)
Baca juga :
• Gus Bota: Mabuk dan Narkoba? Saya Lapor!
• Putri Koster: Pemuda Bagai Ratna Mutu Manikam Nusantara
• Fokus Infrastruktur dan SDM Mendesak Atasi Krisis Sampah Bali