DI SEBUAH lembah di Desa Marga, Tabanan, sejarah mencatat salah satu pertempuran paling heroik dalam revolusi kemerdekaan Indonesia: Puputan Margarana. Pada 20 November 1946, I Gusti Ngurah Rai beserta pasukannya yang tergabung dalam Resimen Sunda Kecil memilih bertempur habis-habisan melawan pasukan Belanda. Desa Marga saat itu bukan sekadar permukiman agraris. Ladang-ladang padi dan kebun kelapa menjadi jalur logistik sekaligus medan persembunyian pasukan. Warga desa berperan ganda: di siang hari mereka mengolah tanah, di malam hari mereka membantu gerilyawan memindahkan amunisi, menyiapkan makanan, dan mengirim pesan rahasia. Sejarawan A.A. Gde Putra Agung dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Bali (1986) menjelaskan: “Desa Marga adalah simpul strategis dalam pergerakan pasukan Ngurah Rai. Posisi geografisnya di tengah jalur utara–selatan memudahkan koordinasi, sekaligus sulit dijangkau patroli Belanda.” Pertempuran Margarana meletus setelah pasukan Ngurah Rai yang berjumlah sekitar 96 orang terkepung di tengah gempuran senjata otomatis dan mortir Belanda. Meski kekuatan tidak seimbang, mereka memilih jalan puputan. Arsip militer Belanda, Verslag van de Actie te Marga (1946), mencatat kerugian besar di pihak pasukan kolonial, meskipun seluruh pasukan Ngurah Rai gugur. Warga desa yang selamat menyimpan kisah ini dalam memori kolektif. Setiap sudut Desa Marga seolah menyimpan jejak perjuangan: dari bekas jalur gerilya di persawahan hingga rumah-rumah yang pernah menjadi pos logistik. Kini, Monumen Nasional Taman Puputan Margarana berdiri megah di lokasi pertempuran. Taman ini bukan hanya tempat penghormatan, tetapi juga ruang edukasi sejarah. Diorama di dalam museum menceritakan kronologi pertempuran, peran warga desa, hingga strategi gerilya yang digunakan Ngurah Rai. Mengutip pesan I Gusti Ngurah Rai dalam surat terakhirnya kepada rekan seperjuangan: “Lebih baik hancur lebur daripada dijajah kembali.” Desa Marga bukan sekadar saksi bisu, melainkan bagian tak terpisahkan dari perlawanan rakyat Bali. Dari ladang yang subur hingga medan tempur yang berlumur darah, desa ini mengajarkan bahwa tanah tempat kita berpijak bisa menjadi benteng terakhir bagi kehormatan bangsa. (tim redaksi)
Baca juga :
• Puputan Margarana: Perlawanan Terakhir di Bali
• Bung Karno: Politik dalam Simbol Bali
• Bali Inspirasi Politik Bung Karno