DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Mentari pagi menyapa Denpasar dengan kehangatan khasnya, namun bagi sebagian anak muda di Pulau Dewata, sinarnya tak lagi secerah dulu. Bayang-bayang harga properti yang kian melambung tinggi menggelayuti impian mereka untuk memiliki rumah sendiri di tanah kelahiran. Di tengah gemerlap pariwisata dan pembangunan yang pesat, suara keprihatinan generasi Z perlahan namun pasti mulai terdengar. Bagi Gede Surya, 24 tahun, impian memiliki rumah di Bali terasa semakin jauh. Sejak lulus kuliah dan mulai bekerja di salah satu perusahaan rintisan lokal, benaknya kerap dipenuhi perhitungan angka yang membuatnya menghela napas panjang. Harga tanah dan bangunan di berbagai sudut Bali, terutama di kawasan yang dekat dengan pusat pariwisata, sudah tak lagi terjangkau oleh penghasilannya dan teman-teman seangkatannya. "Dulu, saya pikir setelah kerja beberapa tahun, saya bisa mulai menabung untuk DP rumah "Tapi kenyataannya, kenaikan harga properti ini gila-gilaan. Jangankan beli, untuk sekadar menyewa tempat tinggal yang layak saja sudah lumayan menguras dompet," ujar Surya dengan nada getir saat ditemui di sebuah kedai kopi di kawasan Renon Sabtu (19/4/2025). Keresahan Surya bukan isapan jempol belaka. Fenomena property bubble yang terasa kian nyata di Bali menjadi momok bagi generasi muda yang ingin membangun kehidupan di kampung halaman. Mereka menyaksikan bagaimana tanah leluhur dan rumah-rumah tradisional perlahan berubah menjadi vila-vila mewah atau penginapan yang harganya selangit, jauh dari jangkauan kantong mereka. "Sedih rasanya melihat teman-teman yang akhirnya memilih merantau ke Jawa atau daerah lain hanya karena di sini sudah tidak mungkin punya rumah," lanjut Surya. "Padahal, kami punya ikatan batin dengan tanah ini, dengan budaya Bali. Tapi kalau untuk hidup layak saja sulit, bagaimana kami bisa berkontribusi lebih untuk daerah kami?" Surya dan beberapa teman seprofesinya mulai aktif berdiskusi dan mencari solusi. Mereka menyadari bahwa isu ini bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga masalah sosial yang perlu disuarakan. Melalui media sosial dan komunitas anak muda, mereka mencoba membangun kesadaran akan sulitnya akses properti bagi generasi muda Bali. "Kami bukan menolak pembangunan atau pariwisata, tapi kami ingin ada regulasi yang lebih berpihak pada masyarakat lokal, terutama generasi muda," tegas Surya. "Kami ingin tetap bisa tinggal dan membangun masa depan di Bali, bukan hanya menjadi penonton di tanah kelahiran sendiri." Di balik keindahan alam dan kekayaan budaya Bali, tersimpan harapan dan kekhawatiran generasi muda yang mendambakan tempat untuk berakar dan bertumbuh. Impian memiliki rumah di tanah dewata perlahan terasa seperti fatamorgana, namun semangat untuk mencari jalan keluar terus membara dalam diri Surya dan kawan-kawannya. (fathur)
Baca juga :
• Fokus Infrastruktur dan SDM Mendesak Atasi Krisis Sampah Bali
• Terjebak di Labirin Pikiran: Jeritan Senyap Generasi Z
• BEM Undiknas: Kami Dukung Pak Koster Soal Plastik