KEGELAPAN buta huruf pernah merenggut mimpi-mimpi perempuan Bali. Namun, di tahun 1936, lima obor kecil dinyalakan di Puri Belaluan, Denpasar. Mereka adalah para guru, dan obor mereka adalah "Poetri Bali Sadar", sebuah gerakan yang merayap dari bilik-bilik sederhana, membawa terang aksara dan membisikkan kesadaran akan hak-hak yang tersembunyi. Di balik heningnya Puri Belaluan, di antara aroma dupa dan ukiran batu yang bisu, lima hati perempuan berpadu. I Gusti Ayu Rapeg, dengan tatapan mata yang menyimpan bara semangat dan kelembutan seorang ibu, memimpin langkah ini. Bersamanya berdiri AA Rai, Ni Ktut Setiari, Ni Luh Kenteng, dan Made Tjatri – para perangkai kata yang tergerak oleh kepedihan melihat kaumnya terkurung dalam labirin ketidaktahuan. Seperti sabda yang terukir dalam Biografi Gusti Ayu Rapeg, "Pendidikan adalah kunci utama untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan Bali, memberikan mereka kesempatan yang setara dalam segala aspek kehidupan." Kata-kata itu menjadi suluh yang menuntun langkah mereka. "Poetri Bali Sadar" tak menjelma sebagai bangunan megah dengan deretan bangku dan papan tulis yang kaku. Ia hadir dalam kesederhanaan bale banjar yang menjadi denyut nadi kehidupan desa, di beranda rumah yang diselimuti kehangatan mentari pagi. Di sanalah, perempuan-perempuan Bali dari berbagai penjuru pulau berkumpul, membawa serta kerinduan akan ilmu yang selama ini terpendam. Jemari mereka yang lentik, terbiasa menari dan merangkai sesajen, kini dengan tekun menorehkan huruf-huruf pertama di atas lembaran lontar yang usang atau buku tulis yang baru. Kursus ABC menjadi jembatan ajaib, menghubungkan kegelapan menuju cahaya pengetahuan. Bayangkanlah wajah-wajah yang khusyuk itu. Ada kerut di dahi saat lidah kelu mengeja suku kata, ada senyum merekah saat mata berhasil menangkap makna di balik rangkaian huruf. Bagi mereka, aksara bukan sekadar simbol mati, melainkan kunci yang membuka pintu menuju dunia yang lebih luas, sebuah kekuatan yang selama ini tersembunyi di dalam diri. Seperti pengakuan lirih seorang anggota awal yang mungkin terbisikkan dari generasi ke generasi, "Sebelum mengenal aksara, kami merasa seperti berjalan dalam kegelapan malam. Kini, setiap huruf adalah bintang yang menerangi langkah kami." Namun, visi Rapeg dan para penggerak "Poetri Bali Sadar" melampaui sekadar kemampuan membaca dan menulis. Mereka menyadari bahwa kemandirian sejati juga berakar pada keterampilan hidup. Maka, di samping pelajaran aksara, mereka juga mengajarkan perempuan Bali berbagai keahlian praktis yang selaras dengan denyut nadi tradisi dan kebutuhan zaman. Ada yang belajar menenun endek dengan motif-motif sakral yang menyimpan cerita leluhur, merangkai canang sari sebagai ungkapan bakti dan keindahan, hingga mengelola keuangan rumah tangga dengan bijak. Setiap helai benang yang terjalin, setiap kelopak bunga yang tertata, adalah sebentuk pemberdayaan, sebuah ikhtiar untuk berdiri tegak di atas kaki sendiri, seperti yang tercatat dalam Biografi Gusti Ayu Rapeg bahwa beliau menekankan "bekal untuk berdiri sendiri dan berkontribusi pada ekonomi keluarga." Di balik setiap goresan pena, di balik setiap untaian benang, Rapeg menyelipkan pesan-pesan kesadaran yang membangkitkan harga diri. Dengan kata-kata yang sederhana namun sarat makna, ia menanamkan pemahaman akan hak dan peran perempuan dalam tatanan masyarakat Bali yang kala itu masih kental dengan patriarki. Dalam hati para perempuan yang hadir dalam setiap pertemuan, terpatri seruan Rapeg yang penuh semangat, "Perempuan Bali bukanlah sekadar pelengkap dalam kehidupan. Kita memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih baik." Meskipun "Poetri Bali Sadar" mungkin tak meninggalkan monumen megah atau catatan sejarah yang gemilang seperti organisasi-organisasi besar pada masanya, jejaknya terukir abadi dalam jiwa perempuan Bali. Mereka adalah para perintis, para penenun harapan yang dengan sabar merangkai aksara demi aksara, merajut kesadaran demi kesadaran. Seperti yang diungkapkan Lau Ne dalam Gerakan Perempuan Bali dari Masa ke Masa, "`Poetri Bali Sadar` menjadi penanda penting dimulainya gerakan perempuan yang terorganisir di Bali, meletakkan dasar bagi perjuangan emansipasi di masa-masa selanjutnya." Kini, di tengah gemerlap modernitas, semangat "Poetri Bali Sadar" tetap bersemi dalam setiap perempuan Bali yang berani bermimpi, yang gigih mengejar pendidikan, dan yang aktif berkarya dalam berbagai bidang. Mereka adalah warisan tak ternilai dari lima obor kecil yang dulu dinyalakan di Puri Belaluan, sebuah bukti bahwa perubahan besar seringkali berawal dari langkah-langkah sederhana yang dilakukan dengan ketulusan dan keyakinan. Dan di setiap lembar aksara yang dibaca dan ditulis oleh perempuan Bali hari ini, tersemat embun pagi kesadaran yang dulu dirajut oleh "Poetri Bali Sadar". (isu/suteja)
Baca juga :
• I Gusti Ayu Rapeg: Kartini dari Bali
• TP PKK Bali Edukasi Siswa TK Pilah Sampah
• Meraih Juara dari Sampah