Search

Home / Aktual / Sosial Budaya

Lovina: Jejak Pena Sang Raja

Editor   |    26 April 2025    |   20:04:00 WITA

Lovina: Jejak Pena Sang Raja
Pantai Lovina, sebuah potret masa lalu. Keindahan yang bersahaja. (podiumnews)

PASIR hitam Lovina adalah kanvas bisu, tempat ombak tenang melukis kedamaian. Namun, jauh sebelum jejak kaki turis memenuhi permukaannya, pena Anak Agung Pandji Tisna telah menorehkan puisi sejarah, sebuah simfoni tersembunyi di utara Bali.

Lahir sebagai Raja Buleleng ke-15, Pandji Tisna (1908-1978) adalah sosok paradoks. Bangsawan yang dekat dengan rakyat jelata, penulis yang dihormati, dan perintis pariwisata yang mengubah wajah Buleleng. Pendidikan di Batavia membuka matanya pada dunia luar. Namun, keyakinan Kristen yang dianutnya membuatnya memilih turun takhta pada 1947, merasa tak lagi sejalan dengan mayoritas Hindu di kerajaannya.

Perjalanan ke Eropa dan Asia, terutama lawatannya ke Bombay (Mumbai), India, pada awal 1950-an, menjadi titik balik. Ia terinspirasi melihat pantai tertata sebagai ruang publik, mengingatkannya pada tanah leluhurnya di Pantai Tukad Cebol. Pada 1953, mimpi itu diwujudkannya: sebuah penginapan sederhana bernama "Lovina" lahir. Nama itu, gabungan "Love" (Inggris) dan "Ina" (Bali, ibu), bermakna "Cinta Ibu Pertiwi," sebuah filosofi mendalam tentang kecintaan pada tanah kelahiran.

Namun, jejak Pandji Tisna tak hanya terukir di pasir Lovina. Ia adalah seorang sastrawan produktif, penanya menari melahirkan novel, cerpen, dan puisi. Meski tak eksplisit berlatar Lovina, kepindahannya ke sana pada 1940 diyakini mewarnai karyanya. Semangat wirausaha dan kepeduliannya pada kaum pekerja tercermin dalam "Sukreni Gadis Bali." Kecintaannya pada Bali dan upaya mengangkat kesejahteraan rakyat menjadi benang merah dalam tulisannya.

Kini, jejak sang raja sastrawan itu diabadikan dalam sebuah museum sederhana di Desa Kaliasem, Lovina. Di sana tersimpan buku-bukunya, foto-foto lawas, silsilah keluarga, bahkan mesin tik yang menemaninya berkarya. Meski koleksinya belum lengkap, aura sejarah dan sastra begitu terasa. Potensi pariwisata sastra di Lovina pun terbuka lebar, mengajak pelancong menelusuri jejak intelektual dan visi sang perintis.

Sebelum menjadi "Lovina" yang kita kenal, kawasan ini adalah bagian dari Kerajaan Buleleng yang gagah. Pandji Tisna adalah keturunan ke-11 dari dinasti Pandji Sakti, pendiri kerajaan tersebut. Singaraja, ibu kota Buleleng, dulunya adalah pusat pemerintahan dan pelabuhan penting di Bali Utara era kolonial. Puri Agung Singaraja masih berdiri, menyimpan artefak sejarah, termasuk koleksi pribadi Pandji Tisna. Mengunjungi puri ini adalah menyelami akar sejarah Lovina yang lebih dalam.

Meski pariwisata kini mendominasi, denyut tradisi dan budaya Bali tetap terasa kuat di Lovina. Upacara adat dan festival keagamaan rutin digelar, memukau wisatawan dengan kekayaan budaya Bali Utara yang khas. Masyarakat juga aktif melestarikan lingkungan, seperti proyek restorasi terumbu karang. Desa-desa sekitar Lovina, seperti Bali Aga, mempertahankan tradisi unik yang berbeda dari Bali selatan.

Potensi pariwisata sastra di Lovina bagai permata yang belum sepenuhnya digosok. Museum Pandji Tisna bisa menjadi pusatnya. Tur sastra menelusuri jejak hidup dan karya sang raja, kelompok pembaca karyanya, hingga ziarah ke Bukit Seraya, tempat peristirahatan terakhirnya, adalah langkah awal yang menjanjikan. Kisah hidup Pandji Tisna, dari raja hingga penulis dan perintis pariwisata, adalah narasi kuat yang mampu menarik wisatawan dengan perspektif sejarah dan sastra yang unik.

Lovina memang lebih dari sekadar lumba-lumba. Pantai pasir hitamnya yang eksotis, air laut yang tenang, surga bagi snorkeling dan diving. Pura Beji di Sangsit memukau dengan arsitektur khas Buleleng. Banjar Hot Springs menawarkan relaksasi alami. Brahmavihara-Arama, satu-satunya biara Buddha di Bali, memancarkan kedamaian. Air Terjun Gitgit menyegarkan mata.

Namun, ada satu fakta tersembunyi: makam Pandji Tisna di Bukit Seraya, Kaliasem. Di kompleks pemakaman keluarga berdiri bangunan kecil yang diyakini sebagai tempat ia menulis. Meski terkunci, tempat ini adalah simbol kuat cintanya pada Lovina, hingga akhir hayat. Di nisannya tertulis, "DI SINI BERISTIRAHAT DENGAN TENANG SUAMI/AYAH/KAKEK YANG TERCINTA AA PANJI TISNA."

Pandji Tisna bermimpi Lovina menjadi destinasi wisata internasional. Kini mimpinya terwujud, meski tak selalu mulus. Semangat "Love Indonesia" yang diusungnya tetap hidup. Mengembangkan potensi sastra dan sejarah Lovina adalah langkah untuk memberikan dimensi baru pada pariwisatanya, sejalan dengan visi sang raja sastrawan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat melalui pariwisata yang berbudaya dan berkelanjutan. Lovina menanti untuk dieksplorasi, lebih dalam dari sekadar lumba-lumba, menyusuri jejak sang raja yang mencintai tanahnya. (isu/suteja)


Baca juga: NUSA DUA CIRCLE, Mega Proyek ‘Gagal’. Benarkah Perusahaan dan Orang-Orang yang Terlibat Didalamnya Juga Bermasalah? (BAG: 1)