Search

Home / Kolom / Editorial

Bali: Prajurit Ramah Menolak Gerong

Editor   |    05 Mei 2025    |   06:51:00 WITA

Bali: Prajurit Ramah Menolak Gerong
Ilustrasi: Senyum ramah Bali menyimpan bara prajurit, menolak gerong demi harmoni Pulau Dewata. (podiumnews)

BAGAIKAN ukiran halus pada batu karang yang kokoh, karakter manusia Bali yang menghuni “pulau sorga” ini menyimpan dualitas yang menawan. Dunia mengenalnya lewat keramahan menyama braya yang menyentuh dan kesopanan budi pekerti, namun di kedalaman jiwa itu bersemayam warisan "prajurit" yang gagah berani – jejak sejarah kerajaan-kerajaan Bali yang perkasa dan benih keberanian ksatria Majapahit yang pernah menorehkan tinta emas di tanah ini.

Warisan ini termanifestasi dalam keberanian ekstrem seperti puputan, sebuah pilihan perlawanan habis-habisan yang jauh melampaui konsep "ngamuk" di Jawa, yang lebih bersifat individual. Bahkan hingga kini, jejak mentalitas dan ketangguhan fisik "prajurit" itu dapat diamati dalam banyaknya putra Bali yang sukses dalam karir militer, kepolisian, dan birokrasi.

Namun, ketenangan dan keramahan Bali saat ini tengah diuji dengan munculnya fenomena "premanisme" yang seringkali berkedok organisasi masyarakat (ormas) dan berasal dari luar pulau. Kehadiran kelompok-kelompok ini memicu kewaspadaan dan penolakan dari sebagian besar masyarakat Bali, sebuah reaksi yang berakar pada pemahaman mendalam akan potensi ancaman terhadap harmoni dan nilai-nilai luhur Pulau Dewata.

Penolakan ini bukanlah sekadar xenofobia, melainkan sebuah respons naluriah untuk melindungi taksu (karisma spiritual) dan keseimbangan sosial Bali. Masyarakat Bali, dengan ingatan kolektif tentang potensi konflik dan trauma masa lalu terkait organisasi tertentu, sangat selektif terhadap kehadiran kekuatan-kekuatan baru. Mereka khawatir bahwa nilai-nilai kekerasan, intimidasi, dan budaya "premanisme" yang dibawa dari luar akan menggerus fondasi Tri Hita Karana dan menyama braya yang menjadi filosofi hidup mereka.

Paradoks karakter Bali kembali berperan di sini. Di satu sisi, keramahan dan keterbukaan adalah bagian integral dari identitas mereka. Namun, di sisi lain, warisan "prajurit" dan insting untuk melindungi wilayah serta nilai-nilai leluhur memicu kewaspadaan yang tinggi terhadap potensi ancaman. Mereka mampu bersikap ramah kepada tamu, namun juga siap berdiri teguh dan menolak segala bentuk gangguan yang dapat merusak kedamaian dan keunikan Bali.

Fenomena "premanisme" berkedok ormas ini dilihat sebagai gerong kekuasaan – upaya untuk meraih pengaruh dan keuntungan dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai Bali yang menjunjung tinggi kesucian, harmoni, dan gotong royong. Masyarakat Bali, dengan insting "prajurit" yang terpendam, secara kolektif merasakan adanya ancaman terhadap tatanan sosial dan spiritual mereka. Penolakan ini adalah bentuk perlawanan modern, bukan dalam wujud puputan fisik, melainkan dalam kesadaran kolektif untuk mempertahankan identitas dan kedamaian pulau mereka.

Oleh karena itu, respons masyarakat Bali terhadap kehadiran "premanisme" berkedok ormas dari luar pulau bukanlah sekadar penolakan terhadap orang asing. Ini adalah manifestasi dari karakter yang kompleks, di mana keramahan berpadu dengan kewaspadaan seorang "prajurit" yang siap melindungi tanah air dan nilai-nilai luhurnya.

Mereka tahu betul bahwa menjaga taksu Bali berarti menjaga warisan leluhur, termasuk semangat keberanian untuk menolak segala bentuk ancaman terhadap kedamaian dan keunikan pulau dewata. Di sinilah paradoks sang prajurit Pulau Dewata menemukan relevansinya dalam konteks kekinian. (*)


Baca juga: Sasar Turis Berkualitas