Search

Home / Kolom / Jeda

Cerita yang Tak Punya Sponsor

Editor   |    21 Mei 2025    |   19:04:00 WITA

Cerita yang Tak Punya Sponsor
Menot Sukadana. (dok/podiumnews)

ADA masa ketika keberlangsungan media lokal hanya sejauh jarak dari kantor bupati. Saat anggaran advertorial Pemerintah Daerah (Pemda) menjadi nadi, dan hubungan baik dengan pejabat setempat adalah jantungnya.

Namun, seperti semua kenyamanan yang terlalu lama dibiarkan, ia berubah menjadi ketergantungan. Dan ketergantungan, seperti kita tahu, tak pernah abadi.

Lima tahun ke depan, media online lokal akan berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi: jalan berdebu yang sudah biasa dilewati — dengan rambu anggaran Pemda dan lampu sorot konferensi pers. Di sisi lain: jalan baru yang masih gelap, penuh tantangan, tetapi juga menjanjikan kemandirian dan marwah yang lebih luhur.

Kita tahu, banyak media lokal tumbuh karena kebutuhan komunikasi pemerintah. Tapi yang jarang kita bicarakan adalah, bagaimana jika kebutuhan itu bergeser? Bagaimana jika Pemda sudah punya kanalnya sendiri — website, Instagram, TikTok — dan tak lagi perlu media sebagai corong?

Yang lebih mengkhawatirkan: bagaimana jika publik juga sudah tidak percaya? Karena terlalu banyak berita yang "terlalu baik", terlalu banyak tajuk yang "terlalu ramah".

Tentu saja, kita bisa bertahan — untuk sementara. Tapi jika kita percaya bahwa jurnalisme adalah tentang memberi makna, bukan hanya menerima anggaran, maka kita juga harus percaya bahwa jalan keluar ada. Hanya saja, ia menuntut keberanian.

Keberanian untuk mempercayai nilai dari liputan yang dalam dan jujur. Tentang nelayan yang kehilangan lautnya, petani yang ditinggal pupuk, atau anak-anak yang belajar di bawah atap yang bocor. Cerita-cerita yang tak punya sponsor, tapi punya ruh.

Keberanian untuk mencoba model bisnis yang baru — dari langganan pembaca, kerja sama dengan UMKM, hingga menyelenggarakan forum diskusi yang membuka ruang dialog antara warga dan pengambil kebijakan. Mungkin lebih kecil skalanya, tapi lebih besar dampaknya.

Keberanian untuk kembali menjadi media. Bukan hanya sebagai pelayan kepentingan, tetapi penjaga nalar dan nurani publik.

Di tengah banjir informasi dan ledakan kecerdasan buatan, ironi terbesar justru ini: masyarakat makin butuh media yang sungguh-sungguh manusiawi. Yang tidak menjerit demi klik, tidak menjilat demi order.

Media yang tahu di mana berpijak, dan kepada siapa ia setia.

Lima tahun ke depan bukan tentang sekadar bertahan. Tapi tentang tumbuh — atau tenggelam.

Dan mungkin, pertanyaan yang harus kita jawab bukan lagi: berapa anggaran yang akan cair? Tapi: apa yang akan kita wariskan?

(Menot Sukadana)

 

 

Baca juga :
  • Dimulai dari Nol
  • Tampil Boleh, Lengah Jangan
  • Catatan Redaksi di Ujung Tahun Kedelapan