Search

Home / Aktual / Hukum

Wajah Mesum di Balik Visa

Editor   |    22 Mei 2025    |   20:04:00 WITA

Wajah Mesum di Balik Visa
Petugas Imigrasi menangkap seorang WNA di Bali yang terbukti menyalahgunakan visa kunjungan untuk memproduksi konten pornografi. Kasus ini menjadi sorotan dalam operasi penegakan hukum oleh Ditjen Imigrasi. (podiumnews)

DARI luar, vila yang disewa Taylor Kirby Whitemore tampak seperti tempat liburan ideal bagi para pencari matahari di Bali. Dinding semen yang belum diplester, kolam renang kecil, serta kursi malas dari rotan sintetis. Semuanya menciptakan citra eksotik yang dicari banyak turis asing. Tapi vila itu bukan tempat bersantai. Di dalamnya, kamera menyala. Tubuh diposisikan. Dan suara derik tripod menjadi satu-satunya saksi bisu dari produksi konten dewasa yang berlangsung diam-diam.

Whitemore bukan turis biasa. Warga negara Amerika Serikat itu menggunakan visa kunjungan sebagai pintu masuk untuk menjalankan bisnis sunyi: menjual video pornografi hasil produksinya sendiri. Ia menyebarkannya melalui akun X (sebelumnya Twitter) bernama @oliver_woodx dan mengelola forum Telegram berbayar untuk distribusi konten eksklusif. Semua dilakukan dari balik dinding vila, di Pulau Dewata.

Namun, layar tidak selamanya bisa menutupi wajah. Tim Patroli Siber Direktorat Jenderal Imigrasi mengendus aktivitasnya sejak Februari 2025. Dengan menggunakan teknologi pengenal wajah yang terhubung dengan sistem data keimigrasian, mereka mencocokkan wajah pelaku dari unggahan video dengan identitas Whitemore. Namanya segera dimasukkan ke dalam daftar cegah keluar.

Akhir Maret, ketika Whitemore hendak terbang ke Kuala Lumpur dengan penerbangan Malindo Air OD172, petugas Intelijen dan Penindakan Keimigrasian (Inteldakim) Kantor Imigrasi Ngurah Rai menahannya di bandara. Ia dibawa ke Jakarta dan menjalani pemeriksaan. Dari ponsel dan perangkat digital miliknya, ditemukan jejak distribusi konten serta rekaman yang dipastikan diambil di wilayah Indonesia. Pemerintah menetapkannya sebagai tersangka dan menahannya di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat sejak 16 Mei 2025.

“Bali bukan tempat bebas hukum,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Imigrasi, Yuldi Yusman, dalam keterangan pers, Rabu, 21 Mei. “Siapa pun yang berada di wilayah Indonesia wajib tunduk pada aturan yang berlaku. Penangkapan ini menunjukkan bahwa kami tidak akan mentolerir pelanggaran yang mencoreng martabat bangsa.”

Ini bukan cerita tunggal. Tahun lalu, seorang perempuan WNA asal Ukraina dideportasi setelah membuat video seronok di vila Ubud, Gianyar. Pada 2021, publik geger oleh video porno yang menampilkan latar Gunung Batur. Beberapa WNA menggunakan lokasi wisata dan penginapan privat sebagai panggung produksi konten pornografi tanpa izin, tanpa hukum, dan tanpa malu.

Modus mereka sederhana. Vila disewa, kamera digelar, adegan direkam. Produksi dilakukan secara soliter atau bersama pelaku lain. Hasilnya dipasarkan melalui media sosial, atau dijual melalui platform seperti OnlyFans dan Fansly. Distribusinya tertutup, tapi jejak digitalnya tetap bisa dicium oleh algoritma dan kejelian petugas siber.

Bali dianggap ideal bagi pelaku semacam ini. Lingkungan sosial yang liberal di kawasan seperti Canggu dan Ubud, kemudahan mengakses vila, serta suasana longgar pengawasan membuat pulau ini rentan menjadi panggung produksi konten pornografi yang mengincar latar eksotik. Namun bagi pemerintah, kebebasan itu punya batas.

“Sejak Januari hingga April 2025, terdapat 32 warga negara asing yang kami proses hukum karena pelanggaran keimigrasian,” kata Yuldi. “Kami terus memperkuat patroli siber dan memanfaatkan teknologi forensik digital untuk memburu pelaku-pelaku lainnya.”

Nada lebih keras datang dari Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto. “Kami tidak akan mentolerir tindakan WNA yang meresahkan,” ujarnya. “Apalagi yang merusak norma kesusilaan dan meracuni ruang digital kita. Siapa pun yang tinggal di negeri ini harus patuh pada hukum.”

Pemerintah daerah Bali kini mulai memperketat regulasi seputar penyewaan vila dan properti jangka pendek. Beberapa asosiasi pariwisata juga telah meminta agar pengelola vila dilibatkan dalam sistem pelaporan dini atas aktivitas mencurigakan. Kolaborasi dengan masyarakat lokal menjadi bagian penting dari pencegahan.

Di balik senyum sopan dan lembar visa, sebagian orang menyembunyikan niat lain. Bagi mereka, Bali bukan sekadar tempat tinggal sementara, tapi lokasi produksi. Dan bagi aparat, penangkapan Whitemore bukan penutup cerita, melainkan awal dari penelusuran panjang: wajah-wajah mesum yang bersembunyi di balik izin tinggal sah. (isu/suteja)

Baca juga :
  • Polresta Denpasar Perkuat Penjagaan di Perempatan Macet
  • Modus Lama Terulang, Turis Jadi Korban Jambret di Kuta
  • Kompol Arya Jabat Kapolsek Gilimanuk yang Kosong