Search

Home / Kolom / Editorial

Pancasila dan Sumpah yang Terlupa

Editor   |    02 Juni 2025    |   00:30:00 WITA

Pancasila dan Sumpah yang Terlupa
Editorial. (Podiumnews)

HARI ini, 1 Juni, bangsa ini kembali memperingati Hari Lahir Pancasila. Upacara digelar, pidato dibacakan, spanduk dipasang. Namun, di balik segala seremoni itu, ada kegelisahan yang tak bisa ditutupi: semakin banyak dari mereka yang seharusnya menjadi penjaga nilai-nilai Pancasila, justru menjadikannya sekadar simbol tanpa jiwa. Sumpah jabatan dilafalkan, tapi cepat dilupakan. Amanah dijunjung di bibir, tapi dihianati dalam perbuatan.

Kita hidup dalam masa ketika korupsi bukan lagi aib, tapi bagian dari sistem. Ketika jabatan dijadikan ladang, bukan pengabdian. Ketika sebagian pejabat dan abdi negara merasa lebih tinggi dari rakyat yang mereka wakili. Kesombongan dipertontonkan, empati ditanggalkan. Mereka pongah dalam fasilitas, namun tuli terhadap derita publik. Di tengah itu semua, kita patut bertanya: masihkah Pancasila hidup di dada mereka?

Padahal Pancasila bukan sekadar ideologi, melainkan etika dasar hidup berbangsa—dan pada dasarnya, adalah perjanjian moral. Ia menuntut kesetiaan. Tapi bukan kesetiaan kepada partai atau penguasa, melainkan kepada rakyat, kebenaran, dan kehormatan. Dan untuk memahami makna kesetiaan itu, kita bisa belajar dari tiga tokoh pewayangan yang diabadikan dalam Serat Tripama karya Mangkunegara IV: Karna, Kumbakarna, dan Sumantri.

Adipati Karna adalah simbol dari janji yang tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa ia anak kandung Kunti, kakak para Pandawa. Ia tahu siapa saudara sejawadnya. Namun ia memilih untuk setia kepada Duryodana—orang yang menghargainya saat dunia mencibir statusnya sebagai anak kusir. Karna tak berkhianat, bahkan saat ia tahu kebenaran, karena bagi dirinya, harga sebuah budi dan janji lebih tinggi dari segalanya. Kesetiaan Karna tak berhitung untung rugi. Ia tetap memberi, bahkan dalam sekarat. Ia mati sebagai ksatria, bukan karena menang perang, tapi karena tak pernah ingkar pada kata-katanya sendiri.

Begitu pula Kumbakarna. Ia tahu kakaknya Rahwana salah. Ia tahu menculik Dewi Sita adalah tindakan nista. Tapi ketika Alengka diserbu, ia turun ke medan laga. Bukan karena setuju, tapi karena mencintai tanah airnya. Ia tak membela kesalahan, tapi ia membela negeri. Di sanalah letak dilemanya: antara suara hati dan sumpah sebagai abdi. Dan ia memilih mati dalam dharma, bukan hidup dengan hina.

Sumantri pun demikian. Hidupnya adalah kisah tentang janji yang berat dan kehormatan yang mahal. Ia rela mengorbankan adiknya demi amanah yang ia emban. Ia tahu akibatnya, tapi ia tahu juga bahwa kehormatan seorang abdi bukan pada keselamatannya, melainkan pada kesetiaannya terhadap tugas, terhadap negara, terhadap dirinya sendiri.

Ketiga tokoh ini mengajarkan bahwa kesetiaan bukanlah tunduk membabi buta, tetapi pilihan sadar untuk berdiri pada nilai yang lebih tinggi dari sekadar kepentingan pribadi. Mereka adalah potret dari pengabdian yang sunyi tapi agung.

Lalu, apa kabar para pejabat kita hari ini?

Mereka yang gemar membanggakan gelar, merapal Pancasila dalam pidato, tapi lupa bahwa tiap sumpah jabatan adalah utang moral. Ketika mereka menyalahgunakan kekuasaan, memalak anggaran, menyuap dalam sunyi, atau menginjak harga diri rakyat kecil dengan arogansi birokrasi, sejatinya mereka telah menghina apa yang dulu mereka sumpah setiakan.

Pancasila lahir dari semangat gotong royong dan pengorbanan, bukan dari kerakusan dan kemewahan yang dipertontonkan. Ia adalah ide besar yang hanya bisa ditegakkan oleh mereka yang mau hidup dengan kecil hati, bukan besar kepala.

Di tengah banyaknya pengkhianatan terhadap amanah publik, Hari Lahir Pancasila harus menjadi momen untuk bertanya ulang: sejauh mana kita, terutama para pemegang kekuasaan, masih setia? Karena kesetiaan bukan dinilai dari apa yang kita ucapkan dalam seremoni, tapi apa yang kita pilih ketika tak ada yang melihat.

Jika negeri ini ingin kembali berwibawa, maka yang dibutuhkan bukan pidato tentang nasionalisme, tapi tindakan nyata yang setia pada nilai. Seperti Karna yang memilih mati demi janji, seperti Kumbakarna yang gugur demi negeri, seperti Sumantri yang mengorbankan diri demi amanah.

Pancasila tak butuh pembela di podium, ia butuh pengabdi di lapangan. Yang berani hidup dalam sunyi, demi menjaga terang. Yang setia tanpa tanya, dan membela tanpa pamrih. (*)

Baca juga :
  • Cermin Retak Keadilan Sosial
  • Sampah yang Tak Pernah Usai
  • Balada Sampah di Suwung: Luka yang Diabaikan