Search

Home / Kolom / Editorial

Sampah yang Tak Pernah Usai

Dewa Fatur   |    28 Mei 2025    |   09:58:00 WITA

Sampah yang Tak Pernah Usai
Editorial. (Podium)

KITA terbiasa melihatnya, lalu berpaling. Sampah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang kerap tak lagi dipikirkan. Dibuang, diangkut, ditumpuk. Selesai? Tidak juga. Ia diam, tapi tak pernah benar-benar hilang.

Belakangan, pembicaraan tentang Waste to Energy (WtE) kembali mengemuka. Ada harapan, tentu. Ada usaha yang patut dihargai.

Pemerintah mulai bergerak, rencana disusun, izin diproses. Teknologi dibawa masuk, janji perubahan disampaikan. Kita ingin percaya bahwa ini adalah awal yang baik.

Upaya mencari solusi patut didukung. Kita tak bisa terus bergantung pada pola lama yang hanya memindahkan masalah dari satu titik ke titik lain.

Jika WtE mampu mengurangi timbunan dan memberi manfaat energi, bukankah itu langkah maju?

Namun, harapan tetap perlu dilengkapi dengan kewaspadaan. Dalam gemuruh proyek, kadang suara warga yang paling dekat dengan sampah justru tak terdengar.

Mereka yang selama ini memilah, mengangkut, dan bertahan hidup dari sisa, pelan-pelan tergeser dari cerita besar.

Teknologi memang penting, tapi bukan segalanya. Tanpa kebiasaan baru, tanpa kesadaran memilah sejak rumah tangga, WtE hanya akan menjadi simbol. Indah dilihat, tapi tak menyentuh akar.

Sampah bukan hanya soal fisik. Ia mencerminkan kebiasaan, ketertiban, dan cara kita memperlakukan bumi.

Maka pekerjaan paling berat sesungguhnya bukan membangun mesin, tetapi mengubah cara berpikir dan bertindak baik warga maupun pemangku kebijakan.

WtE bisa jadi solusi. Tapi solusi tak pernah datang dalam bentuk tunggal. Harus ada pelibatan, keterbukaan, dan kesediaan untuk belajar dari pengalaman. Yang dibutuhkan bukan sekadar proyek, tapi perubahan budaya yang dimulai dari hal paling sederhana.

Barangkali kita belum terlambat. Tapi waktu tak akan menunggu. Saatnya melihat sampah bukan sebagai beban, tapi sebagai pengingat.

Bahwa yang kita buang, pada akhirnya kembali kepada kita dalam bentuk udara, air, atau diam yang pelan-pelan mencemari hidup. (*)

Baca juga :
  • Bali dan Denyut Baru Pariwisata
  • Menelisik Bali Lewat Sorot
  • Hak Gizi, Bukan Kompromi