MACET bukan hanya antrean kendaraan di jalan, tapi antrean ego yang tak sabar menunggu giliran. Seperti kopi yang tak sempat diseruput, hidup pun berubah hambar dalam ketergesaan yang dibiarkan. Di simpang Dalung Permai, arah Jalan Tegal Linggah, suara klakson tak lagi terdengar sebagai pengingat. Ia berubah menjadi lengkingan frustrasi. Setiap hari, terutama jam satu siang dan jelang senja pukul empat hingga lima, jalan itu menjadi arena tumpah ruah manusia dan mesin. Dari arah Nusa Dua dan Kuta, orang-orang pulang kerja. Dari arah sebaliknya, mereka yang baru hendak mulai putaran malam. Pejabat, pekerja hotel, ASN, tukang parkir—semuanya menyatu dalam antrean tanpa kesabaran. Yang lebih menyedihkan bukan hanya kemacetan itu sendiri, tapi sikap kita di dalamnya. Motor-motor naik ke trotoar, menyisihkan pejalan kaki yang kian tersingkir. Lampu merah diterobos tanpa ragu, dan teriakan makian menjadi perbincangan biasa. Kadang aku bertanya—benarkah ini Bali yang katanya ramah dan berbudaya? Atau kita hanya menyimpan keramahan itu untuk brosur wisata dan bukan untuk sesama? Di antara deru knalpot dan peluh pengendara, terlihat satu hal: ketergesaan. Seolah bila terlambat lima menit saja, rejeki akan lari, dan dunia akan meninggalkan mereka. Barangkali, terlalu banyak yang percaya bahwa waktu adalah uang, tapi lupa bahwa hidup bukan sekadar mengejar uang. Di sisi lain, para pejabat melintas dalam mobil ber-AC, dikawal foreder, membuka jalan seolah negeri ini milik mereka seorang. Di dalam ruangan mewah mereka berbicara soal kemacetan sebagai bagian dari pidato, tapi di jalanan mereka menambah kemacetan itu sendiri. Ironi ini terus berulang, seolah empati sudah mati, dan jabatan telah memisahkan mereka dari realitas rakyat yang memberi mereka kursi. Tahun berganti, janji tinggal janji. Infrastruktur dibangun, tapi kebijakan tak kunjung menyentuh akar. Kita membangun jalan, tapi tak membangun budaya tertib. Kita bicara pariwisata, tapi lupa bahwa wajah pertama Bali bukanlah bandara, tapi jalanannya. Dan barangkali, di tengah semua kekacauan ini, hidup sebenarnya sedang memberi sinyal: berhentilah sejenak. Bukan untuk menyerah, tapi untuk menyadari bahwa arah yang kita tuju tak selalu sepadan dengan cara kita mencapainya. Macet mungkin bisa jadi jeda yang jujur. Seperti kopi yang sempat terlupa, barangkali kita hanya butuh waktu untuk menyeruput hidup lebih pelan—dan kembali merasakan hangatnya, sebelum semuanya benar-benar dingin. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
Pernah muda, masih ngopi, belum pensiun dari mikir.
• Merancang Rumah dari Kata
• Padi, Plastik, dan Pengakuan
• Selembar yang Tertunda