BI Tunda Payment ID, Pakar Ingatkan Risiko Data
SURABAYA, PODIUMNEWS.com - Rencana Bank Indonesia (BI) untuk meluncurkan Payment ID pada 17 Agustus 2025 urung terealisasi. Payment ID yang digadang-gadang menjadi sistem identitas pembayaran berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) ini semestinya menjadi satu pintu pencatatan aktivitas transaksi keuangan perorangan.
Meski belum terealisasi, wacana tersebut memunculkan beragam tanggapan. Salah satunya datang dari akademisi Universitas Airlangga, Dr Aziz Fajar SKom MKom, yang menilai konsep Payment ID memiliki potensi positif sekaligus tantangan besar.
Menurut Aziz, Payment ID dapat membantu lembaga keuangan dalam mendeteksi potensi fraud. Dengan sistem terintegrasi, pemerintah tak perlu lagi membuka data keuangan secara manual.
“Misalnya transaksinya hariannya hanya 100 ribu, 50 ribu. Tiba-tiba suatu saat terdapat transaksi 500 juta. Dengan adanya Payment ID bisa dengan mudah diketahui siapa yang mengirim dan menerima,” ujar Aziz melalui keterangan pers, Jumat (22/8/2025).
Namun, Aziz menegaskan ancaman serius dalam implementasi sistem ini, yakni keamanan data pengguna. Ia mengingatkan kasus kebocoran data KTP yang pernah terjadi di Indonesia bisa menjadi pelajaran berharga.
“Kalau data kita bisa bocor, orang yang tidak berkepentingan bisa melihat pola pengeluaran kita. Data tersebut bisa dijual ke perusahaan swasta, misalnya pinjol,” jelasnya.
Ia menilai, tanpa perlindungan siber yang kuat, Payment ID justru berpotensi menimbulkan masalah baru. Karena itu, penguatan infrastruktur cybersecurity menjadi syarat mutlak sebelum sistem ini diterapkan.
“Kalau keamanannya lemah, masyarakat bisa enggan bertransaksi digital dan kembali ke cara-cara offline yang akan memperlambat roda ekonomi digital Indonesia,” tegasnya.
Selain aspek teknis, Aziz menekankan pentingnya literasi digital masyarakat. Edukasi keamanan transaksi digital, menurutnya, harus diberikan sejak usia remaja, khususnya tingkat SMA hingga perguruan tinggi, serta menyasar kalangan orang tua.
“Banyak orang tua merasa tidak akan bersentuhan dengan dunia digital, padahal kini hampir semua aktivitas sehari-hari terkait dengan perangkat digital,” pungkasnya.
(riki/sukadana)