Podiumnews.com / Aktual / Politik

Pancasila Jadi Fondasi Nasionalisme-Kosmopolitan untuk Pemajuan HAM

Oleh Podiumnews • 09 September 2025 • 19:57:00 WITA

Pancasila Jadi Fondasi Nasionalisme-Kosmopolitan untuk Pemajuan HAM
Prof Dr Drs Dafri MA. (dok/UGM)

YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com – Pancasila dinilai bukan sekadar dasar negara, melainkan fondasi bagi lahirnya paradigma baru yang disebut nasionalisme-kosmopolitan. Pandangan ini menekankan pentingnya sinergi antara cinta tanah air dan kesadaran sebagai warga dunia demi memperkuat pemajuan hak asasi manusia.

Gagasan itu disampaikan Prof Dr Drs Dafri MA, dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar bidang Diplomasi Hak Asasi Manusia dan Kepemimpinan Global di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Selasa (9/9/2025) di Balai Senat UGM.

Menurut Dafri, nasionalisme dan kosmopolitanisme tidak seharusnya dipertentangkan. Keduanya bisa berpadu dalam bentuk nasionalisme-kosmopolitan, sebuah gagasan yang memungkinkan manusia tetap berpegang teguh pada identitas kebangsaan sekaligus peduli terhadap penderitaan universal.

“Nasionalisme-kosmopolitan merupakan konsep yang menggabungkan nilai-nilai nasionalisme dan kosmopolitanisme, sehingga seseorang dapat memiliki rasa kebangsaan yang kuat sambil tetap menghargai dan berpartisipasi dalam komunitas global,” ujarnya.

Ia menegaskan semangat nasionalisme-kosmopolitan sesungguhnya telah tumbuh di Indonesia sejak awal berdirinya republik. Hal itu tercermin dalam sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mengukuhkan komitmen bangsa terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.

“Disepakatinya sila kedua menegaskan bahwa Indonesia telah mengadopsi ideologi kosmopolitanisme dan berkomitmen terhadap pemenuhan, pemajuan, perlindungan, dan penghormatan hak asasi manusia di dunia,” kata Dafri.

Dalam pidato ilmiah berjudul Membangun dan Memperkuat Nasionalisme-Kosmopolitan untuk Pemenuhan, Pemajuan, Penghormatan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, ia juga menyoroti masih maraknya pelanggaran HAM berat di dunia, mulai dari genosida hingga kekerasan sistematis terhadap kelompok minoritas. Ironi besar, menurutnya, muncul ketika dunia modern yang penuh instrumen hukum internasional justru gagal melindungi manusia dari kekejaman.

“Dilihat dari perspektif HAM, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja,” tegasnya.

Situasi di Indonesia pun menjadi perhatian. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat berulang kali terjadi dengan jumlah korban ribuan orang, namun penyelesaiannya masih stagnan. Ia menilai pemenuhan keadilan transisional merupakan kebutuhan mendesak agar luka sejarah tidak diwariskan dari generasi ke generasi.

Dafri menambahkan, hak asasi manusia tidak pernah hadir begitu saja, melainkan buah perjuangan melawan ketidakadilan. Ia merujuk pada pandangan ‘mazhab protes’ yang menegaskan HAM sebagai hasil dari aktivisme dan perlawanan kolektif.

Sebagai penutup, ia mengajak generasi muda Indonesia untuk menyalakan semangat nasionalisme-kosmopolitan dalam aksi nyata, baik melalui suara, pena, solidaritas, maupun diplomasi lintas negara. “Kita mungkin tidak memiliki senjata atau kuasa, tetapi kita memiliki hati nurani, moral dan etika, pemikiran, suara, dan juga pena,” pungkasnya.

(riki/sukadana)