Podiumnews.com / Aktual / Ekonomi

Rupiah Melemah ke Rp16.700, Ekonom Nilai Tak Wajar

Oleh Nyoman Sukadana • 01 Oktober 2025 • 06:41:00 WITA

Rupiah Melemah ke Rp16.700, Ekonom Nilai Tak Wajar
Ilustrasi grafik nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS di layar monitor, menggambarkan tekanan ekonomi dan fluktuasi pasar keuangan. (podiumnews)

JAKARTA, PODIUMNEWS.com - Pelemahan rupiah ke kisaran Rp16.700 per dolar AS dalam sepekan terakhir dinilai berlebihan dan tidak seharusnya terjadi apabila koordinasi kebijakan pemerintah lebih koheren.

Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menegaskan bahwa perbaikan komunikasi dan sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal menjadi kunci untuk mengembalikan stabilitas nilai tukar.

“Jika koordinasi kebijakan berjalan baik, tekanan terhadap rupiah tidak akan separah sekarang. Pelemahan yang terjadi saat ini sudah berlebihan atau overshooting,” kata Fakhrul dalam keterangannya di Jakarta, Senin (29/9/2025).

Menurut Fakhrul, salah satu persoalan yang menekan rupiah adalah minimnya komunikasi pemerintah terkait pemanfaatan arus dolar yang akan masuk ke dalam negeri. Ia menilai, tanpa arah penyaluran yang jelas, pasar justru menafsirkan kebutuhan dolar Indonesia di masa depan akan meningkat.

“Kalau dolar milik WNI di luar negeri ditarik pulang, pertanyaannya: disalurkan ke mana, untuk proyek apa, dan dengan syarat bagaimana? Tanpa kejelasan itu, pasar membaca risiko meningkat, terutama untuk kebutuhan pembayaran bunga utang,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah seharusnya memperkuat pendalaman pasar keuangan dengan menawarkan instrumen yang kredibel. Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah menerbitkan obligasi dolar (global bond) baik oleh pemerintah maupun BUMN strategis seperti Pertamina dan PLN.

“Harus langsung ada prospek proyek dan pinjaman dolar yang jelas. Itu yang membuat pasar percaya bahwa arus dolar masuk ke Indonesia punya arah,” kata Fakhrul.

Untuk menahan tekanan terhadap rupiah, Fakhrul menawarkan tiga langkah strategis. Pertama, pemerintah atau BUMN besar segera menerbitkan obligasi dolar guna menampung likuiditas. Kedua, bank-bank nasional yang memiliki cadangan dolar diarahkan menyalurkan pinjaman ke pasar luar negeri yang membutuhkan dolar. Ketiga, meninjau ulang kebijakan bunga deposito USD 4 persen yang dinilai mengubah ekspektasi pasar secara drastis.

Selain langkah jangka pendek, Fakhrul juga menyoroti pentingnya pengembangan pasar mata uang dan derivatif domestik agar kebutuhan dolar di dalam negeri lebih terkelola. Saat ini, menurutnya, Indonesia masih kekurangan aset berdenominasi dolar, baik dalam bentuk pinjaman maupun obligasi.

“Kita memang sudah menekan kebutuhan dolar lewat kewajiban penggunaan rupiah di berbagai transaksi. Tapi ke depan, yang mendesak adalah memperluas instrumen pasar dan memperkuat analisis risiko,” tegasnya.

Fakhrul menilai, dengan kondisi neraca perdagangan Indonesia yang masih surplus besar dan potensi penurunan suku bunga di Amerika Serikat, ruang penguatan rupiah masih terbuka lebar.

“Kalau kebijakan bisa dijalankan dengan koheren, rupiah bisa kembali ke level 16.000 atau bahkan lebih kuat. Jadi bukan saatnya membeli dolar sekarang,” pungkasnya.

(riki/sukadana)