Podiumnews.com / Aktual / Hukum

RKUHAP Disorot, Kewenangan Penegak Hukum Dinilai Terlalu Luas

Oleh Nyoman Sukadana • 07 Oktober 2025 • 07:02:00 WITA

RKUHAP Disorot, Kewenangan Penegak Hukum Dinilai Terlalu Luas
Ilustrasi suasana ruang sidang dengan timbangan keadilan di atas meja kayu, menggambarkan keseimbangan hukum dan perlindungan HAM dalam revisi RKUHAP. (podiumnews)

YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026 tengah menuai perhatian luas. Sejumlah kalangan menilai draf RKUHAP berpotensi memperkuat kewenangan penegak hukum tanpa disertai pembatasan yang jelas. Kekhawatiran itu muncul karena rancangan tersebut dianggap belum sepenuhnya menjamin hak-hak dasar tersangka dan terdakwa, termasuk hak atas pendampingan hukum sejak awal proses penyidikan.

Dalam beberapa pasal, RKUHAP dinilai memberi ruang yang cukup besar bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan tanpa mekanisme kontrol yang ketat. Kondisi ini, menurut sejumlah pakar hukum, dapat berimplikasi pada terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bila tidak disertai prinsip akuntabilitas dan transparansi.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus salah satu tim penyusun KUHAP, Dr Muhammad Fatahillah Akbar SH LLM, menyatakan bahwa pembahasan revisi RKUHAP saat ini memang diarahkan untuk memperbaiki ketidakseimbangan tersebut. Menurutnya, revisi hukum acara pidana harus mampu memberikan batasan tegas terhadap setiap tindakan hukum yang diambil oleh aparat, terutama pada tahap penyidikan.

“Dalam pelaksanaannya, tindakan seperti penangkapan dan penahanan tetap harus memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri, kemudian diuji melalui peradilan agar tidak ada pelanggaran terhadap hak individu,” jelas Fatahillah melalui keterangan resmi, Sabtu (6/10/2025). Ia menambahkan bahwa sistem hukum acara pidana yang baik harus menjamin adanya keseimbangan antara kepentingan negara dalam menegakkan hukum dengan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.

Menurut Fatahillah, tujuan utama dari penyusunan ulang KUHAP adalah memastikan keadilan substantif. Artinya, hukum acara tidak boleh hanya berpihak pada kepentingan penegakan hukum, tetapi juga harus menjamin perlindungan bagi korban, pelaku, dan masyarakat. “Hukum acara pidana itu harus menghadirkan keadilan yang seimbang bagi semua pihak. Karena itu, masukan dari masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum menjadi sangat penting dalam proses ini,” ujarnya.

RKUHAP juga diharapkan menjadi instrumen yang mampu memperkuat prinsip akuntabilitas lembaga penegak hukum. Dalam praktiknya, penyidik maupun penuntut umum harus memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. “Kita ingin memastikan agar kewenangan yang diberikan tidak menimbulkan penyimpangan. Advokat juga perlu diberi ruang yang cukup dalam mendampingi klien sejak awal proses hukum,” tambahnya.

Pakar hukum ini menegaskan bahwa semangat revisi RKUHAP tidak boleh sekadar formalitas perubahan pasal, tetapi harus membawa pembaruan sistem yang menjamin hak-hak dasar warga negara. Ia menilai, transparansi pembahasan dan partisipasi publik merupakan kunci agar produk hukum ini tidak kembali menimbulkan polemik di kemudian hari. “Keterlibatan semua pemangku kepentingan menjadi penting agar hasil revisi benar-benar berpihak pada keadilan dan perlindungan Hak Asasi Manusia,” katanya.

Sementara itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil juga mendorong agar pembahasan RKUHAP dilakukan secara terbuka dan inklusif. Mereka menilai pembaruan hukum acara pidana harus menjawab tantangan penegakan hukum modern yang berorientasi pada keadilan restoratif dan perlindungan hak korban maupun pelaku.

Hingga kini, DPR bersama Kementerian Hukum dan HAM serta tim akademisi masih terus membahas pasal-pasal krusial dalam draf RKUHAP. Pemerintah menargetkan pembahasan selesai akhir tahun 2025 agar aturan baru ini dapat diberlakukan tepat waktu pada 2 Januari 2026. Meski demikian, berbagai pihak menilai perlu ada kehati-hatian agar RKUHAP yang dihasilkan tidak sekadar menjadi instrumen hukum prosedural, melainkan juga mencerminkan nilai keadilan yang berpihak pada manusia.

(riki/sukadana)