Search

Home / Aktual / Ekonomi

Aset Tambang Ilegal Rp7 Triliun Direbut Kembali Negara

Nyoman Sukadana   |    07 Oktober 2025    |   08:08:00 WITA

Aset Tambang Ilegal Rp7 Triliun Direbut Kembali Negara
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyaksikan langsung proses penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) di Smelter PT Tinindo Internusa, Kota Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada Senin (6/10/2025). (BPMI setpres)

JAKARTA, PODIUMNEWS.com - Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyaksikan langsung penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) hasil tindak pidana pertambangan ilegal di Smelter PT Tinindo Internusa, Kota Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (6/10/2025).

Penyerahan dilakukan secara berjenjang, dimulai dari Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin kepada Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, dilanjutkan kepada CEO Danantara, dan akhirnya kepada Direktur Utama PT Timah Tbk. Acara tersebut menjadi tonggak penting dalam penegakan hukum dan pemulihan kerugian negara akibat praktik tambang ilegal yang telah berlangsung bertahun-tahun di wilayah Bangka Belitung.

Presiden Prabowo menyebut langkah ini sebagai tindakan konkret pemerintah untuk mengembalikan kekayaan negara dan memperkuat kedaulatan ekonomi nasional. Ia menegaskan, kejahatan sumber daya alam tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan ekosistem dan keadilan ekonomi masyarakat setempat.

“Pagi hari ini saya ke Bangka. Tadi bersama-sama kita menyaksikan penyerahan rampasan negara dari perusahaan-perusahaan swasta yang melaksanakan pelanggaran hukum,” ujar Presiden Prabowo.

Barang rampasan yang diserahkan mencakup aset bernilai tinggi dan beragam, antara lain 108 unit alat berat, 6 unit smelter, 195 alat pertambangan, 53 unit kendaraan, serta 22 bidang tanah dengan total luas 238.848 meter persegi. Selain itu terdapat 680.687 kilogram logam timah, 99 ton kristal Sn, 94 ton crude tin, 15 ton aluminium, hingga uang tunai dalam berbagai mata uang asing.

“Nilainya dari enam smelter dan barang-barang yang disita mendekati Rp6–7 triliun. Tapi tanah jarang yang belum diurai mungkin nilainya sangat besar. Monasit itu bisa mencapai 200 ribu dolar per ton,” kata Presiden.

Selain aset fisik, uang tunai hasil penyitaan yang telah disetorkan ke kas negara mencapai Rp202,7 miliar dan sejumlah mata uang asing, termasuk USD3,15 juta, JPY53 juta, SGD524 ribu, serta beberapa mata uang lainnya.

Prabowo menegaskan, penindakan terhadap pelaku tambang ilegal akan terus berlanjut. Pemerintah berkomitmen agar seluruh aset hasil kejahatan dapat dikelola secara produktif dan memberi manfaat ekonomi bagi negara. Ia juga menyinggung potensi besar dari logam tanah jarang (rare earth/monasit) yang selama ini belum dimanfaatkan optimal.

“Kita bisa bayangkan kerugian negara dari enam perusahaan ini saja, kerugian total mencapai Rp300 triliun. Ini harus kita hentikan,” tegasnya.

Presiden menambahkan, pemerintah akan memperkuat koordinasi antar lembaga hukum dan kementerian terkait agar mekanisme pengawasan terhadap kegiatan tambang menjadi lebih ketat. Aset yang telah diserahkan kepada PT Timah Tbk diharapkan dapat diintegrasikan dalam sistem tata kelola baru yang transparan dan efisien, sekaligus mendorong hilirisasi mineral strategis nasional.

Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menilai kebijakan pemerintah ini sebagai momentum penting dalam memperbaiki arah ekonomi sumber daya alam. Ia menilai, penyitaan smelter ilegal bernilai triliunan rupiah bukan hanya kemenangan hukum, tetapi juga sinyal koreksi terhadap tata kelola ekonomi nasional yang selama ini lemah.

“Ini bukan hanya soal hukum, tapi momentum untuk mengakhiri kebocoran nilai dari sumber daya alam. Negara sedang mengembalikan kendali atas kekayaan yang selama ini bocor,” ujar Fakhrul.

Ia mengingatkan, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah dan BUMN mengelola aset hasil penyitaan secara produktif. “Kalau aset yang disita hanya berpindah tangan tanpa reformasi sistem, kebocoran akan berulang. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama,” katanya.

Fakhrul menambahkan, PT Timah harus mampu menjalankan peran sosial sebagai bantalan ekonomi bagi masyarakat lokal yang selama ini bergantung pada tambang ilegal. “Keberhasilan kebijakan ini justru akan diukur dari sejauh mana ia menjaga stabilitas sosial di daerah tambang,” ujarnya.

Langkah pemerintah merebut kembali aset tambang ilegal senilai Rp7 triliun ini menjadi sinyal kuat bahwa negara sedang menata ulang kedaulatan sumber daya alamnya. Dengan tata kelola yang transparan dan inovatif, aset yang sebelumnya menjadi sumber kebocoran dapat diubah menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.

(riki/sukadana)

Baca juga :
  • Indonesia Siap Rebut Posisi Puncak Wisata Halal Dunia Tahun Depan
  • Pengamat UGM Nilai Tambahan Saham Freeport Tak Seimbang
  • Wabup Badung Hadiri High Level Meeting dan Sosialisasi Pajak