KPK Ungkap Ijon Politik di Kasus Hibah Jatim
JAKARTA, PODIUMNEWS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memperdalam penyidikan kasus dugaan korupsi dana hibah kelompok masyarakat (Pokmas) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim). Dalam pengumuman resmi pada Minggu (5/10/2025), KPK menahan empat tersangka baru dari unsur swasta dan mantan kepala desa yang diduga berperan sebagai perantara dana hibah tahun anggaran 2019–2022.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan penahanan ini merupakan bagian dari upaya memperkuat alat bukti atas keterlibatan para pihak dalam skema penyimpangan hibah yang telah berjalan selama beberapa tahun.
“Keempat tersangka kami tahan untuk 20 hari pertama, sejak 2 hingga 21 Oktober 2025, di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK. Ini bagian dari upaya menuntaskan perkara yang merugikan keuangan daerah secara besar-besaran,” kata Asep di Jakarta.
Menurutnya, hingga saat ini 21 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, terdiri atas 13 pemberi dan delapan penerima. KPK menemukan adanya pengkondisian jatah pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD yang diarahkan kepada kelompok masyarakat tertentu, sebagian di antaranya fiktif atau hanya dipinjam namanya.
Kelompok Bayangan
KPK menemukan pola di mana operator menyiapkan proposal, rencana anggaran biaya, dan laporan pertanggungjawaban tanpa melibatkan masyarakat penerima. Dokumen lengkap itu diajukan melalui jalur pokir anggota DPRD yang memiliki kendali politik di tingkat provinsi.
“Dalam praktiknya, kelompok masyarakat hanya dipakai sebagai alat legalitas. Operator sudah menyiapkan semuanya, termasuk stempel dan tanda tangan,” ungkap salah satu penyidik KPK.
Beberapa kepala desa yang dimintai keterangan mengaku tidak tahu nama mereka digunakan dalam proposal hibah. Sebagian bahkan baru mengetahui adanya program setelah dana cair dan laporan diserahkan. Skema ini menjadikan banyak kelompok masyarakat sebagai “kelompok bayangan” yang tidak pernah merencanakan kegiatan maupun menerima manfaat dari hibah tersebut.
Fee dan Proyek Fiktif
Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya kewajiban membayar fee kepada pihak-pihak yang memfasilitasi pencairan hibah. Besarannya antara 15 sampai 20 persen dari nilai bantuan. Uang itu dibagi antara anggota dewan, operator, serta pengurus kelompok yang menandatangani laporan pertanggungjawaban.
Sejumlah proyek yang dilaporkan sebagai hasil hibah ternyata tidak pernah terlaksana. Ada pelatihan, pengadaan alat pertanian, hingga pembangunan balai desa yang hanya tercatat di atas kertas. Foto kegiatan direkayasa dari lokasi lain agar laporan tampak sah.
“Kami menemukan penggunaan dokumen kloning, di mana satu template dipakai untuk banyak kelompok masyarakat, hanya nama dan lokasi yang diganti,” jelas Asep.
KPK menyebut praktik ini sebagai bentuk manipulasi administratif yang sistematis. Laporan pertanggungjawaban yang rapi dan lengkap menutupi fakta bahwa sebagian besar kegiatan tidak pernah dilakukan.
Rente Kekuasaan
KPK menduga praktik hibah di Jawa Timur telah menjadi alat politik dan ekonomi bagi sekelompok orang. Legislator dengan jatah pokir menentukan penerima hibah, sementara operator swasta menyiapkan dokumen dan mengendalikan pelaksanaan setelah pencairan dana.
“Skema ini tidak hanya merusak keuangan daerah, tapi juga membentuk ketergantungan politik. Uang publik dipakai untuk menjaga loyalitas dan kekuasaan,” ujar Asep.
Penyidik juga menemukan keterlibatan oknum di dinas teknis dan perangkat desa yang ikut menandatangani surat verifikasi tanpa pemeriksaan lapangan. Jaringan ini membentuk rantai rente yang saling menopang, dari pejabat hingga operator lapangan.
KPK menegaskan penyidikan tidak berhenti pada penindakan hukum, tetapi juga diarahkan untuk memperbaiki tata kelola hibah daerah. Lembaga ini telah memberikan rekomendasi agar pemerintah daerah menerapkan sistem digitalisasi, audit berbasis data, dan pengawasan publik terhadap penerima hibah.
“Kami ingin memastikan setiap rupiah dana publik benar-benar sampai kepada masyarakat, bukan ke saku pribadi atau kelompok tertentu,” tegas Asep.
Kasus ini menjadi cermin bahwa korupsi dapat tumbuh rapi di balik administrasi yang tampak legal. Di balik setiap proposal yang tersusun rapi, tersimpan kisah tentang uang rakyat yang tak pernah benar-benar kembali ke rakyatnya.
(riki/sukadana)