YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia masih berada pada level mengkhawatirkan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 mencatat sebanyak 330.097 kasus kekerasan, dengan 98,5 persen di antaranya terjadi di ranah domestik. Dari angka tersebut, perempuan dengan disabilitas tercatat sebagai kelompok paling rentan, dengan risiko mengalami kekerasan dua hingga lima kali lebih tinggi dibanding perempuan tanpa disabilitas. Dosen Studi Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Ratna Noviani, menilai situasi ini menunjukkan masih lemahnya sistem perlindungan bagi kelompok rentan, khususnya perempuan dengan disabilitas. “Masih ada kendala besar dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan disabilitas meskipun sudah ada instrumen hukum yang mengatur,” ujarnya di Kampus UGM, Selasa (7/10/2025). Ratna menjelaskan, penegakan hukum kerap berhenti pada tataran retorika atau seremonial. Pemerintah belum sepenuhnya menyediakan infrastruktur yang nyata dan substantif. “Regulasi yang ada sering tidak diikuti aturan turunan dan penyesuaian teknis di lapangan, sehingga tidak menyentuh kebutuhan nyata perempuan disabilitas,” terangnya. Ia juga menyoroti keterbatasan akses terhadap program-program inklusif yang sebenarnya sudah diluncurkan pemerintah. Infrastruktur bagi perempuan disabilitas dinilai masih belum merata dan kurang mempertimbangkan kebutuhan spesifik. “Beberapa shelter untuk korban kekerasan memang ada, tapi belum ramah kursi roda dan belum memperhatikan kebutuhan disabilitas sensorik,” ucapnya. Selain faktor struktural, budaya patriarki dan diskriminasi disebut masih mengakar kuat di berbagai institusi. Kondisi ini membuat stigma terhadap perempuan disabilitas terus dinormalisasi, sehingga suara mereka sering diabaikan. “Ketika masyarakat masih memandang disabilitas sebagai kelemahan, maka kekerasan dan ketidakadilan akan terus berulang,” tegasnya. Ratna menekankan bahwa menciptakan ruang aman bagi perempuan disabilitas tidak cukup melalui kebijakan formal. Upaya ini harus dimulai dari kesadaran sosial sehari-hari di lingkungan terdekat. “Ruang aman tidak cukup dibangun dengan fasilitas, tetapi dengan mengguncang logika sosial yang menormalisasi ketidakadilan terhadap penyandang disabilitas,” katanya. Ia menambahkan, lembaga pendidikan memegang peranan penting dalam membentuk kesadaran anti-diskriminasi. Sekolah dan kampus, menurutnya, bisa menjadi arena strategis untuk menanamkan nilai inklusif sejak dini. “UGM sudah memiliki Unit Layanan Disabilitas dan UKM Peduli Difabel. Langkah ini baik dan perlu ditiru institusi pendidikan lain agar kesadaran tumbuh dari praktik sehari-hari, bukan hanya teori,” jelasnya. Selain pendidikan, Ratna menilai media digital juga berperan penting dalam memperkuat kesadaran publik. Melalui kampanye sosial dan representasi positif, media dapat menjadi alat efektif melawan diskriminasi. “Media digital bisa menghadirkan suara perempuan disabilitas, memperlihatkan kapasitas mereka, dan menantang norma yang diskriminatif,” pungkasnya. (riki/sukadana)
Baca juga :
• Maling Bobol Counter HP di Petang, Korban Tak Lapor Polisi
• Polsek Pelabuhan Benoa Tangkap Pencuri HP di Mess ABK
• Pura-pura Bertamu, Pria Ini Curi HP Tetangganya di Denpasar