Hukum di Dunia Maya: Sanksi Pidana terhadap Pemalsuan dan Penipuan Digital
Gelombang Baru Kejahatan di Dunia Maya
KEMAJUAN teknologi digital yang memudahkan hidup manusia ternyata juga membuka babak baru dalam dunia kejahatan. Penipuan tidak lagi dilakukan di pasar tradisional atau perkantoran, melainkan di layar ponsel dan komputer. Dari modus phishing, investasi fiktif, penjualan palsu, hingga pencurian identitas, kejahatan digital atau scam online kini menjadi salah satu bentuk tindak pidana yang paling masif dan sulit dikendalikan.
Indonesia, dengan jumlah pengguna internet lebih dari 200 juta jiwa, menjadi lahan empuk bagi pelaku kejahatan siber. Korban bisa siapa saja mulai dari pelajar, ibu rumah tangga, hingga pejabat karena kejahatan ini memanfaatkan kepercayaan dan kelengahan digital. Sayangnya, banyak korban yang tidak tahu harus melapor ke mana, atau merasa bahwa hukum tidak cukup kuat untuk melindungi mereka. Padahal, sistem hukum kita sudah memiliki instrumen pidana yang dapat menjerat pelaku pemalsuan dan penipuan digital. Tantangannya adalah bagaimana hukum itu diterapkan secara tegas dan efektif.
Pemalsuan Digital sebagai Kejahatan Modern
Pemalsuan digital tidak selalu berbentuk dokumen fisik palsu seperti di masa lalu. Kini, pemalsuan bisa berupa identitas, tanda tangan elektronik, situs web, hingga konten digital yang disamarkan untuk tujuan menipu atau mencuri data. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru maupun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur bahwa setiap perbuatan membuat, mengubah, atau menggunakan data elektronik palsu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dapat dijerat dengan pidana penjara. Pasal 35 UU ITE secara tegas menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memanipulasi, menciptakan, mengubah, menghapus, merusak, menghilangkan informasi elektronik atau dokumen elektronik dengan maksud agar dianggap seolah-olah data yang sah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 12 miliar rupiah.” Ketentuan ini penting karena menegaskan bahwa hukum pidana tidak membedakan antara pemalsuan fisik dan pemalsuan digital. Yang menjadi fokus adalah niat jahat dan akibatnya terhadap korban atau sistem elektronik yang dirugikan.
Penipuan Digital dan Kerugian yang Nyata
Sementara itu, penipuan digital (online scam) juga diatur baik dalam KUHP maupun UU ITE. Dalam KUHP klasik, penipuan masuk dalam Pasal 378: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, dipidana karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Namun dalam konteks digital, tipu muslihat itu bisa terjadi tanpa tatap muka. Pelaku memanfaatkan teknologi untuk membangun kepercayaan semu melalui pesan palsu, situs belanja tiruan, hingga iklan yang direkayasa. UU ITE memperluas konsep ini ke ranah elektronik, sehingga pelaku penipuan daring dapat dijerat dengan pidana penjara hingga enam tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar.
Perlu dipahami, kerugian akibat penipuan digital bukan hanya kehilangan uang, tetapi juga kehilangan rasa aman dan kepercayaan terhadap sistem digital itu sendiri. Ketika masyarakat takut bertransaksi secara daring, maka kemajuan ekonomi digital nasional ikut terhambat. Dengan kata lain, penipuan digital bukan sekadar tindak pidana individual, namun merupakan ancaman terhadap tatanan ekonomi dan sosial digital negara.
Tantangan Penegakan Hukum
Walau instrumen hukumnya sudah tersedia, penegakan hukum terhadap kejahatan digital masih menghadapi banyak kendala. Pertama, identifikasi pelaku sering kali sulit dilakukan karena mereka menggunakan identitas palsu, jaringan virtual pribadi (VPN), atau server luar negeri. Kedua, masih terbatasnya kemampuan forensik digital di kepolisian dan kejaksaan membuat proses pembuktian menjadi panjang dan tidak efisien. Ketiga, banyak korban yang enggan melapor karena merasa “tidak ada gunanya” atau takut disalahkan akibat kelalaiannya.
Di sinilah hukum menghadapi tantangan baru: bagaimana menegakkan keadilan di dunia yang tidak memiliki batas wilayah dan identitas yang kabur. Hukum pidana nasional harus bersinergi dengan kerja sama internasional, karena sebagian besar kejahatan digital bersifat lintas negara. Tanpa koordinasi lintas batas, penegakan hukum hanya akan menyentuh pelaku kecil di dalam negeri, sementara jaringan besar di luar sana tetap bebas beroperasi.
Perlindungan Korban dan Edukasi Publik
Penting diingat bahwa hukum pidana bukan hanya alat untuk menghukum pelaku, tetapi juga melindungi korban dan masyarakat. Dalam kasus penipuan digital, perlindungan terhadap korban sering kali terabaikan. Korban kehilangan uang, data pribadi, dan kepercayaan diri, namun proses hukum berjalan lama dan tanpa kepastian pemulihan.
Oleh karena itu, perlu dibangun sistem hukum yang tidak hanya represif tetapi juga preventif. Negara harus memperkuat literasi digital masyarakat, terutama dalam memahami ancaman penipuan daring, mengenali modus-modus baru, dan melaporkan kejadian dengan aman.
Selain itu, perusahaan digital, platform belanja online, dan lembaga keuangan wajib ikut bertanggung jawab dalam menjaga keamanan data dan transaksi pengguna. Hukum harus mendorong mereka untuk memiliki mekanisme perlindungan konsumen yang nyata, bukan hanya pernyataan formal di halaman kebijakan privasi.
Penegakan Hukum yang Adaptif
Kejahatan digital menuntut hukum yang cepat, adaptif, dan kolaboratif. Negara tidak bisa mengandalkan paradigma hukum lama yang lambat dan hierarkis. Kejahatan di dunia maya berkembang setiap hari, hari ini pelaku menipu lewat pesan singkat, besok mungkin melalui kecerdasan buatan (AI deepfake) atau manipulasi wajah dan suara. Penegak hukum harus memiliki literasi digital dan kompetensi forensik yang kuat, sementara lembaga peradilan harus mulai memahami konteks teknologi dalam memutus perkara. Tanpa itu, hukum akan selalu tertinggal satu langkah dari kejahatan.
Hukum sebagai Penjaga Kepercayaan Digital
Pencurian dan penipuan digital bukan sekadar pelanggaran individu, melainkan ancaman terhadap kepercayaan publik terhadap negara dan sistem hukum. Ketika masyarakat merasa tidak aman di dunia maya, maka cita-cita transformasi digital Indonesia kehilangan maknanya.
Sanksi pidana terhadap pemalsuan dan penipuan digital harus diterapkan secara tegas, tetapi juga disertai reformasi sistemik mulai dari edukasi, teknologi, hingga kerja sama global. Hukum tidak boleh hanya hadir setelah kejahatan terjadi; ia harus menjadi benteng yang menjaga ruang digital agar tetap etis dan manusiawi. Karena di era ini, data adalah nyawa, dan kepercayaan adalah mata uang. Jika hukum gagal melindungi keduanya, maka yang hilang bukan sekadar uang, tetapi masa depan peradaban digital itu sendiri. (*)
Oleh: Esti Aryani, SH, MH (Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi)