Bahkan Mencintai Dicurigai

BARU-BARU ini, ramai menjadi perbincangan tentang turis yang marah-marah di sebuah restoran di Bali. Pemicunya sepele, staf restoran tersenyum padanya, lalu dianggap sebagai hal yang mencurigakan dan buruk baginya. Ini bukan hanya soal perbedaan budaya. Lebih dari itu, kejadian ini menunjukkan kepada kita semua tentang dunia kini yang telah jauh berubah.

Di kota besar, berbeda dengan di kota kecil atau desa, orang-orang jarang tersenyum. Di jalan raya, wajah-wajah keras dan tegang sudah menjadi pemandangan biasa. Jarang, atau bahkan hampir tak ada orang yang menyapa dengan senyum kepada temannya, apalagi kepada orang yang baru ditemui.

Maka itu, ketika berkendara di jalan raya, melihat seseorang tersenyum menjadi semacam oase. Mengapa orang-orang berwajah serius? Apakah beban hidup yang berat membuat mereka sulit santai? Entahlah. Pertanyaan itu terus menggantung di benak saya.

Kota yang macet, tingkat stres tinggi, dan gangguan mental yang mengintai setiap warganya menjadikan kota besar cocok dengan gambaran kejam, dingin, dan muram. Jika pun ada orang yang ramah dan murah senyum, itu sering dianggap aneh. “Pasti ada maunya,” atau “Orang ini mencurigakan.” Asumsi-asumsi semacam itu seakan sudah menempel di kepala kita.

Di titik inilah lirik lagu Dunia Baru karya Iksan Skuter terasa menohok. “Bahkan mencintai dicurigai.” Lagu ini seolah menjadi cermin dunia yang kita tinggali sekarang. Dunia yang penuh kecurigaan, di mana niat baik pun sering dipelintir jadi keburukan.

Iksan Skuter dalam lagunya menghadirkan kritik sosial yang sederhana tapi tajam. Ia menyinggung bahwa dunia kita semakin kehilangan nurani. Bahkan yang paling alami sekalipun—mencintai, tersenyum, menunjukkan kepedulian—dapat dianggap sesuatu yang salah. Lagu ini bukan sekadar curahan hati seorang musisi, tapi juga alarm tentang arah kehidupan kita sebagai manusia.

Fenomena itu semakin terasa ketika kita membicarakan kecanduan ponsel pintar dan media sosial. Di ruang tunggu rumah sakit, di halte, di kafe, bahkan saat makan bersama, orang-orang lebih sibuk menatap layar daripada bercakap dengan orang di sampingnya. Percakapan verbal semakin jarang, interaksi tatap muka semakin menurun. Akhirnya, tubuh kita dekat secara fisik, tetapi pikiran kita jauh, tersedot ke dunia maya masing-masing.

Algoritma media sosial membuat kita diatur tanpa sadar. Apa yang kita lihat, apa yang kita sukai, bahkan apa yang kita pikirkan, semua diarahkan oleh sistem yang bekerja sunyi. Kita seperti terjebak dalam dunia baru buatan mesin. Dunia di mana keakraban tergantikan oleh scrolling tak henti, dunia di mana senyum di dunia nyata makin jarang, tetapi emoji senyum berseliweran setiap detik.

Bukankah ini ironi? Kita semakin pandai menebar emotikon hati, tetapi semakin kaku memberi pelukan nyata. Kita semakin cepat menekan tanda “like”, tetapi makin sulit melontarkan sapaan sederhana. Dunia baru ini benar-benar telah mengubah kita.

Saya sering berpikir, mungkin inilah yang dimaksud Iksan Skuter dengan “dunia baru.” Bukan dunia yang kita impikan penuh kedamaian, melainkan dunia yang penuh keganjilan. Dunia di mana kebaikan dibaca sebagai jebakan, dan keramahan dipelintir sebagai tipu muslihat. Dunia yang membuat senyum sederhana di restoran bisa memicu amarah seorang turis.

Namun, apakah kita harus menyerah pada kenyataan ini? Saya kira tidak. Justru di tengah dunia yang penuh kecurigaan, memberi senyum dan menunjukkan cinta menjadi sikap yang lebih penting. Meski kadang dianggap aneh, meski kadang dicurigai, senyum tetaplah tanda kemanusiaan kita. Ia mungkin kecil, tetapi bisa jadi pengingat bahwa kita belum sepenuhnya kehilangan harapan.

Lagu Iksan Skuter memberi saya kekuatan untuk membaca dunia dengan cara lain. Dunia baru mungkin memang lahir, dengan segala absurditasnya, tetapi masih ada celah bagi kita untuk melawan. Melawan dengan kebaikan yang tulus, dengan keramahan yang sederhana, dengan keberanian untuk mencintai meski dicurigai.

Mungkin memang benar, di zaman sekarang bahkan mencintai bisa dicurigai. Tapi justru di situlah tantangannya, apakah kita masih mau mencintai tanpa pamrih, meski dunia meragukan kita. (*)

Angga Wijaya (Jurnalis Tinggal di Denpasar)