Secangkir Kopi Guru Jurnalistik
TERAS belakang kantor media di Denpasar Utara. Sudah lewat tengah malam tapi kami masih duduk, menyeduh kopi, dan berbincang tentang banyak hal: kerja jurnalistik, nasib media, hidup yang tak selalu ramah, dan sesekali tentang keluarga, tentang masa lalu yang diam-diam membentuk kami menjadi seperti sekarang.
Menot Sukadana, atasan saya waktu itu, adalah orang yang tidak suka bicara panjang, tapi kalimatnya selalu melekat. Ia bukan bos yang suka memerintah. Ia lebih seperti kakak yang mendampingi—menyunting naskah bersama, menimbang judul berita, lalu mengajar kami berpikir sebelum mengetik.
Saya menulis pengantar ini bukan sebagai orang yang tahu banyak, tapi sebagai seseorang yang pernah belajar langsung dari penulis buku ini. Saya tidak tahu apakah Bli Menot masih ingat perbincangan kami malam-malam di pojok kantor yang diterangi lampu 10 watt. Tapi saya ingat betul kalimat-kalimatnya. Ia mengajari saya bahwa jurnalisme bukan hanya soal menyampaikan informasi, tapi juga soal keberpihakan—pada nurani, pada yang lemah, pada yang tak bersuara.
Dan buku ini, JEDA, persis seperti dirinya: tenang, pelan, tapi mengendap.
Buku ini bukan memoar. Ia bukan kumpulan artikel biasa. Ia adalah renungan yang lahir dari jeda—sela di antara kerja dan kesadaran. Terdiri dari tiga bagian utama: Jeda Pers & Wacana Publik, Jeda Sosial & Ruang Bersama, serta Jeda Diri & Pencarian Makna, buku ini mengajak kita menyelami ulang hidup sebagai jurnalis, warga, dan manusia yang sedang belajar menerima kenyataan.
Di bagian pertama, Bli Menot menuliskan dengan jujur pergulatan media lokal di Bali—yang mandeg di skala mikro, yang kerap bergantung pada anggaran Pemda, dan yang gamang menghadapi logika klik dan algoritma. Tapi dari sana juga ia menanam benih optimisme: tentang kolaborasi, tentang membangun “ekosistem kecil”, tentang menjadikan media sebagai ruang hidup yang lebih manusiawi.
Di tengah badai pemutusan hubungan kerja di industri media, ia justru melahirkan kanal gaya hidup UrbanBali, bermimpi tenang kedai kopi Redaksi, dan merancang pindahan kantor ke tempat yang lebih sepi di pinggir kota.
Bagian kedua membawa kita ke ranah yang lebih sosial dan kebudayaan. Mulai dari konvoi liar pelajar, kopi Bali yang tak tersedia di coffee shop kota, hingga kerinduan pada adab dan etika di jalan raya. Di sini, penulis menunjukkan kepekaan khas jurnalis yang punya akar: peka terhadap yang tak terdengar, dan berani menyuarakan yang pelan. Ia menulis soal pulangnya jenazah Melly dari Amerika dengan empati, lalu berpindah ke soal politisi konten dengan ketenangan. Semuanya ditulis dengan gaya naratif yang menyentuh—tidak menghakimi, tapi juga tidak pura-pura netral.
Namun bagi saya, bagian ketiga adalah yang paling dalam. Jeda Diri & Pencarian Makna bukan cuma kumpulan refleksi, tapi juga semacam pengakuan. Tentang kelelahan, tentang menua dengan pelan, tentang ayah yang menggendong anak, tentang kopi yang diseduh sendiri sebagai bentuk menjaga kewarasan. Di sana, kita menemukan Bli Menot bukan sebagai redaktur atau pendiri media, tapi sebagai manusia biasa yang berusaha tetap jujur pada hidup yang terus berubah.
Saya pribadi paling menyukai tulisan berjudul “Pengusaha Kata-Kata” dan “Selembar yang Tertunda”—dua esai yang secara tidak langsung juga menyinggung kehadiran saya sebagai bagian kecil dalam perjalanan bukunya. Saat membaca ulang, saya merasa seperti sedang mendengar kembali percakapan kami di pagi hari yang sunyi: tentang niat yang tertunda, tentang buku yang ingin disusun, tentang rencana membuat kedai kopi yang rindang lima tahun lagi.
Di balik semua tulisan ini, saya menemukan satu benang merah: keberanian untuk pelan. Di zaman yang serba cepat, menulis pelan adalah pilihan yang tidak populer. Tapi penulis buku ini menunjukkan bahwa justru dari pelan, kita bisa merasa. Dari merasa, kita bisa mengerti. Dan dari mengerti, kita bisa memberi makna—bagi diri sendiri maupun orang lain.
Sebagian tulisan di buku ini pernah tayang di kolom “Jeda” di PodiumNews.com, sebagian lagi baru dibuka sekarang. Tapi semuanya ditulis dengan cara yang sama: tanpa tergesa. Sebagaimana kopi Bali yang diseduh tanpa mesin, kata-kata dalam buku ini lahir dari ruang sunyi, dari pengalaman yang dibiarkan mengendap. Ia tidak berniat menggurui. Tapi jika dibaca dengan pelan, ia bisa menjadi teman dalam kesunyian.
Bagi para pembaca, saya percaya buku ini bukan hanya akan memberi wawasan tentang dunia jurnalistik dan sosial kita hari ini. Tapi juga bisa menjadi cermin. Bahwa jeda itu penting. Bahwa tidak apa-apa untuk berhenti sejenak, menyeruput hidup, dan menimbang ulang arah.
Dan bagi saya pribadi, buku ini adalah hadiah dari seorang guru. Bli Menot bukan hanya membimbing saya di redaksi, tapi juga—tanpa ia sadari—mengajarkan saya bahwa menulis adalah kerja kejujuran, dan jurnalisme adalah soal keberanian untuk tidak ikut ramai jika ramai itu kehilangan nurani.
Selamat menikmati buku ini. Seruput perlahan. Rasakan jedanya. (*)
Angga Wiaya (Penyair, esais, jurnalis, dan murid yang tak pernah berhenti belajar)
(Tulisan ini adalah kata pengantar buku JEDA; Catatan Renungan Seorang Jurnalis Tentang Kopi, Hidup, dan Makna, karya Menot Sukadana yang akan segera terbit).