Perlu Permintaan Maaf Terhadap Korban Pelanggaran HAM
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden Indonesia pertama yang mengakui dua belas pelanggaran HAM berat Indonesia di masa lalu. Hal itu ia ucapkan dalam pidatonya pada Rabu (11/1) di depan Istana Merdeka, Jakarta, setelah menerima laporan dari tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).
Dosen Fakultas Hukum Univeristas Airlangga (Unair) Joeni Arianto Kurniawan SH MA PhD menilai, pidato Presiden Jokowi tersebut menjadi pengakuan oleh negara bahwa memang telah terjadi pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“Pengakuan itu suatu hal yang baik. Berarti kerja investigasi yang dilakukan Komnas HAM tidak sia-sia,” ujarnya, Kamis (26/1). Hal tersebut ia katakan lantaran selama ini tidak ada tindak lanjut atas berbagai pelanggaran HAM berat tersebut.
Meskipun demikian, Joeni berpendapat bahwa masih ada kekurangan dalam pengakuan tersebut.“Pidato itu nanggung. Tidak ada satupun kata maaf yang terlontar dari mulut Presiden,” sebutnya.
Dirinya mengatakan, permintaan maaf tersebut diperlukan agar status korban pelanggaran HAM jelas. Dengan demikian, hak-hak mereka sebagai korban dapat terpenuhi. “Restitusi, rehabilitasi, dan ganti rugi adalah hak korban. Itu kewajiban negara sebagai sebuah institusi,” terangnya.
Selain permintaan maaf, Joeni juga menyayangkan kurangnya tindak lanjut berupa pengadilan HAM dari pengakuan tersebut. “Ketika sudah mengakui, seharusnya pengadilan HAM-nya digelar,dong!” serunya..
Pengadilan HAM menurutnya, tidak bertujuan untuk menghukum pelaku, mengingat banyak pelaku yang memang sudah tidak memungkinkan lagi untuk diberikan penghukuman karena berbagai macam faktor, salah satunya faktor usia.
Akan tetapi, hal itu bertujuan untuk menetapkan kebenaran sekaligus menjamin hak-hak korban. Dirinya khawatir, proses pemenuhan hak korban pelanggaran HAM akan dilakukan sepihak apabila tidak didasarkan pada keputusan pengadilan.
“Yang menentukan besaran (ganti rugi, red)-nya seharusnya adalah pengadilan. Itu pentingnya mekanisme pro justitia,” jelas Joeni.
Ia menyarankan, harus diadakan tindak lanjut berupa penuntutan oleh Jaksa Agung atas pengakuan tersebut. Dengan demikian, pengadilan HAM bisa digelar, dan hak para korban dapat dipenuhi.
“Demi hak-hak para korban, demi keadilan, dan demi tegaknya prinsip negara hukum republik Indonesia,” tagasnya.
Akui 12 pelanggaran HAM berat
Sebagaimana diketahui, sebelumnnnya Presiden Jokowi menerima laporan dari PPHAM di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu (11/1). Dalam keterangannya, Presiden Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada berbagai peristiwa di Tanah Air.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Presiden Jokowi.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada sejumlah peristiwa yakni:
- Peristiwa 1965-1966;
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989;
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999;
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
- Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999;
- Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002;
- Peristiwa Wamena, Papua 2003; dan
- Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi juga menyampaikan rasa simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Untuk itu, pemerintah akan berupaya memulihkan hak para korban secara adil dan bijaksana.
“Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” kata Presiden Jokowi.
Selain itu, Presiden Jokowi menambahkan, pemerintah akan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada masa yang akan datang. Presiden Jokowi pun menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md untuk mengawal hal tersebut.
“Saya minta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menkopolhukam untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Presiden Jokowi berharap upaya pemerintah tersebut dapat menjadi langkah berarti dalam pemulihan luka sesama anak bangsa.
“Semoga upaya ini menjadi langkah berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ucap Presiden Jokowi. (rik/sut)