Search

Home / Sorot / Politik

Dari Aceh Sembuhkan Luka Bangsa

Editor   |    04 Juli 2023    |   21:31:00 WITA

Dari Aceh Sembuhkan Luka Bangsa
Presiden Jokowi hadiri peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, pada Selasa (27/6/2023). (BPMI Setpres)

AWALI dari Aceh yang berada di wilayah ujung paling barat Indonesia, pemerintahan ingin mulai tonggak realisasi penyembuhan luka bangsa terkait program pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.

Rumoh Geudong menjadi saksi kehadiran negara dalam memulihkan hak korban 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia. Kasus pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong, pada era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1989-1998, merupakan satu dari 12 kasus yang saat ini menjadi komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk diselesaikan lewat jalur nonyudisial. Tanpa menafikan proses yudisial.

Adapun 11 kasus pelanggaran HAM berat lainnya adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius (petrus) 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999; Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002; Peristiwa Wamena, Papua 2003; dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Karena itu, Presiden Jokowi meluncurkan program Pelaksanaan Rekomendasi Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat di Indonesia dari Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/6/2023). “Pada hari ini kita berkumpul secara langsung maupun virtual di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh ini untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu yang meninggalkan beban yang berat bagi para korban dan keluarga korban,” ucap Presiden Jokowi.

Sebelumnya, pada Januari 2023, pemerintah telah memutuskan untuk menempuh jalur nonyudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia dengan mengedepankan pemulihan hak-hak korban tanpa menegasikan mekanisme yudisial. Tugas ini dilakukan oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) di bawah koordinasi Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM (Polhukam).

“Kita bersyukur, alhamdulillah bisa mulai direalisasikan pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat di 12 peristiwa, yang sekaligus menandai komitmen bersama untuk melakukan upaya-upaya pencegahan agar hal serupa tidak akan pernah terulang kembali di masa-masa yang akan datang,” ujarnya.

Kepala Negara mengakui, proses penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat di tanah air melalui proses yang lama dan sangat panjang. Untuk itu, Presiden menyampaikan ucapan terima kasih atas kebesaran hati para korban dan ahli waris korban menerima setiap proses yang berjalan.

Presiden juga menyatakan tugas TPP HAM yang habis Desember 2023 bisa diperpanjang jika memang dibutuhkan. Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD dalam laporannya menyampaikan alasan pemilihan Aceh sebagai awal dimulainya realisasi program pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat. Menurut Mahfud, pemerintah dan rakyat Aceh turut berkontribusi dalam catatan sejarah Indonesia.

Di samping itu, Menko Polhukam melanjutkan, ini merupakan bentuk penghormatan negara terhadap proses perdamaian yang berlangsung di Aceh, serta penghormatan terhadap bencana kemanusiaan tsunami yang terjadi pada 2004. “Ketiga hal tersebut memiliki dimensi kemanusiaan yang kuat, relevan dengan agenda pemenuhan hak korban dan pencegahan yang sudah, sedang, dan akan terus dilakukan,” ucap Mahfud.

Pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM antara lain berupa pemberian santunan kebutuhan hidup, pendidikan beasiswa SD hingga perguruan tinggi untuk anak-anak keluarga korban, pelayanan kesehatan bagi korban, program Keluarga Harapan dari Kemensos, pelatihan ekonomi, dan pemberian golden visa bagi korban yang berstatus eksil di luar negeri.

Kantor Kemenko Polhukam bersama TPP HAM sudah mendata, sedikitnya ada 6.000 korban pelanggaran HAM dan sebanyak 137 tinggal di luar negeri.  Adapun sejumlah korban dan keluarga korban peristiwa pelanggaran HAM berat menyambut baik program yang digagas oleh pemerintah tersebut.

Fauzinur Hamzah yang merupakan keluarga korban peristiwa di Rumoh Geudong pada 1998 berharap bahwa dengan adanya program penyelesaian yang digagas pemerintah tersebut, tidak akan ada lagi pertikaian yang terjadi di tanah air. “Ini luar biasa bagi saya. Saya melihat sosok Pak Presiden orangnya kecil tapi jiwanya besar. Buktinya itu ada untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di Aceh dan Indonesia umumnya. Semoga ke depan enggak ada lagi pertikaian atau tumpah darah di Indonesia. Kita cinta Indonesia,” ucapnya.

Sementara itu, Samsul Bahri, yang merupakan korban peristiwa Simpang KKA berharap agar pemerintah juga terus mengupayakan penyelesaian yudisial, di samping melakukan penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat.

Pengakuan Eksil

Selain pemberian bantuan pemerintah secara simbolis kepada perwakilan korban pelanggaran HAM berat di Aceh, Presiden juga berbicang langsung dengan Jaroni Soerjomartono, 81 tahun, dan Sudaryanto Priyono, 81 tahun, mahasiswa Indonesia di Ceko dan Rusia yang tidak bisa kembali pulang ke Indonesia saat peristiwa politik tahun 1965.

Dua orang eksil tersebut kini sudah menjadi warga negara Ceko dan Rusia. "(Saya) tidak bisa kembali (ke Indonesia) karena saya dicabut paspor," ucap Soerjomartono saat berbincang dengan Presiden Joko Widodo dalam acara peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh, Selasa (27/06/2023).

Dua eksil tersebut khusus didatangkan dari Moskow, Rusia dan Praha, Ceko. Di Pidie, Sudaryanto dan Jaroni Soerjomartono menerima pemulihan hak awal dalam bentuk bebas tarif untuk pembuatan kartu izin tinggal terbatas (Kitas). Pemerintah juga menawarkan kemudahan kepada mereka berdua jika ingin kembali menjadi warga negara Indonesia. 

Soerjomartono bercerita bahwa pada tahun 1965, dirinya tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Ceko melalui beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Kemudian pada 30 September 1965 terjadi peristiwa politik di tanah air yang mengakibatkan dicabutnya paspor yang dimilikinya bersama sejumlah mahasiswa Indonesia yang berada di sana.

Sementara itu, Sudaryanto Priyono bercerita bahwa akibat dari peristiwa pada tahun 1965, dirinya yang pada saat itu tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Moskow, Rusia, kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia.

Baik Soerjomartono maupun Sudaryanto mengapresiasi program yang diluncurkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat. Mereka menilai hal tersebut menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap para korban.

Soerjomartono pun berharap agar hal serupa tidak terjadi kembali kepada generasi muda saat ini. “Agar generasi muda dan yang akan datang tidak mengalami nasib-nasib yang kita alami, bukan seperti kita tapi seperti 12 kasus HAM berat yang telah terjadi,” tuturnya. (riki/sut)


Baca juga: Kontroversi Putusan Hakim Penundaan Pemilu