Search

Home / Aktual / Politik

Pakar Politik Unair Tanggapi Prabowo Soal Opisisi

Editor   |    29 Agustus 2024    |   19:23:00 WITA

Pakar Politik Unair Tanggapi Prabowo Soal Opisisi
Ilustrasi opisisi. (tempo)

PODIUMNEWS.com - Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Irfa’i Afham menanggapi pernyataan Presiden Terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto yang menyebut oposisi politik sebagai budaya barat.

Oleh karena itu, Prabowo ingin mengajak berbagai partai politik untuk bergabung ke dalam kabinetnya.

Menurut Irfa’i Afham, dalam konsep demokrasi keberadaan oposisi sangat penting. Demokrasi selalu menghendaki adanya keberagaman dalam politik. Oleh karena itu, perlu ada keberagaman politisi, ideologi, partai, dan identitas.

“Dalam mekanisme elektoral, nilai demokrasi ini (keberagaman, red) bertujuan untuk memunculkan oposisi dan oposisi sangat penting untuk checks and balances. Upaya penyeragaman politik total ini mengancam masa depan demokrasi Indonesia,” terang Irfa’i melalui keterangan resminya, Kamis (29/8/2024).

Oposisi Sebagai Pengawas

Praktek demokrasi muncul di berbagai negara sebagai kritik atas sistem kerajaan (feodalisme). Melalui demokrasi berbagai organisasi politik dapat muncul untuk bersaing dan saling mengkritik. Kritik-kritik itu sangat penting dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Tanpa kritik, pemegang kekuasaan akan berbuat sesuka hati.

Keberagaman politik juga mendorong adanya pergantian elit atau pemegang kekuasaan. Menurut dosen ilmu politik Unair itu, demokrasi di Indonesia dapat berjalan sebab adanya keberagaman politik, bukan penyeragaman total politik tanpa oposisi.

Dinamika Oposisi Politik

Para pendiri bangsa membentuk Indonesia dari keberagaman politik serta pertentangan oposisi dari spektrum politik kanan maupun kiri. Dinamika tersebut membuat proses politik menjadi bermakna sehingga dapat membentuk Republik Indonesia yang demokratis.

“Akan tetapi, ketika masuk era otoritarian pada orde Baru, terjadi penyeragaman dalam seluruh kehidupan politik. Euforia Reformasi memunculkan secercah harapan untuk kembali melahirkan keberagaman politik dan termasuk eksistensi oposisi politik,” terangnya.

Namun, Irfa’i menilai bahwa oposisi politik di Indonesia masih lemah karena bersifat sementara. “Meski demikian budaya oposisi paska Reformasi masih lemah karena oposisi seringkali hanya temporer, tidak permanen. Acapkali konflik ini tidak diselesaikan dengan adu gagasan dalam proses demokratis, melainkan proses-proses politik transaksional,” jelasnya.

Irfa’i mengatakan bahwa Indonesia memerlukan oposisi politik yang berjangka panjang, yang dapat beradu gagasan, kritik, dan ideologi melalui proses demokratis. 

“Oposisi-oposisi yang humanis, yang memiliki gagasan kebangsaan kuat dan mempertimbangkan pentingnya masyarakat sipil dalam merawat kehidupan politik demokratis yang sehat sangat kita perlukan untuk mengawasi dan mengoreksi jalannya kekuasaan di Indonesia,” tutupnya. (riki/suteja)


Baca juga: Putusan PN Jakpus Tak Bisa jadi Dasar Penundaan Pemilu