“Di Tanah Dewata yang dulu teduh, kini angin membawa risau, kisah pilu tentang kedaulatan yang terluka oleh tingkah polah seorang pendatang.” LAGI-LAGI Bali, pulau yang konon dijaga oleh harmoni dan keramahan, menyuguhkan paradoks. Seorang pelancong dari negeri jauh, dengan nama inisial MM, mengamuk di sebuah klinik, merusak ketenangan yang seharusnya menjadi hak setiap pasien dan petugas medis. Lebih dari sekadar tindakan brutal, insiden di Pecatu ini, seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, adalah sebuah "alarm keras". Bukan hanya tentang lemahnya saringan di gerbang kedatangan kita, tetapi juga tentang jalinan benang merah antar institusi yang tampak kusut dan tak terhubung. Bagaimana mungkin, kita bertanya bersama Cucun, seorang yang urinnya terang-benderang menunjukkan jejak narkotika, bisa melenggang bebas, bahkan sempat membuat onar di ruang publik, sebelum akhirnya hanya diantar kembali ke negaranya? Ada sebuah ironi pahit di sini. Tes kesehatan yang seharusnya menjadi pagar penjaga, justru menjadi sekadar formalitas yang tak berujung pada konsekuensi hukum yang setimpal. Ketiadaan barang bukti, alasan yang sungguh terasa hambar di tengah hasil laboratorium yang jelas, seolah menjadi celah bagi seorang pelanggar untuk terlepas dari jerat keadilan. Di sinilah kita melihat bukan hanya kelalaian individual, melainkan sebuah potret buram koordinasi. Aparat keamanan, yang seharusnya sigap menjaga ketertiban; instansi kesehatan, yang telah memberikan data penting tentang kondisi pelaku; dan pihak imigrasi, yang memegang catatan keluar masuk warga asing—ketiganya tampak bergerak sendiri-sendiri, tanpa orkestrasi yang padu. Pertanyaan Cucun tentang bagaimana seorang pengguna narkoba bisa luput dari pengawasan selama berdiam di akomodasi lokal adalah pertanyaan yang menggantung di udara, menuntut jawaban yang lebih substansial daripada sekadar deportasi. Kasus MM bukan sekadar insiden kriminal biasa. Ia adalah metafora dari sebuah sistem pengawasan yang rapuh, sebuah koordinasi yang belum matang. Bali, dengan magnet pariwisatanya yang kuat, menjadi etalase bagi kelemahan ini. Jika di Pulau Dewata saja pengawasan terhadap warga asing bisa sedemikian longgarnya, bagaimana dengan wilayah lain di Nusantara? Desakan DPR untuk memperketat seleksi dan pemantauan adalah niscaya. Namun, lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah sebuah kesadaran kolektif bahwa kedaulatan hukum sebuah bangsa tidak bisa dinegosiasikan, apalagi hanya karena pertimbangan pragmatis pariwisata. Tindakan tegas tanpa pandang bulu, transparansi dalam penanganan kasus, dan sinergi antar instansi bukan lagi sekadar imbauan, melainkan sebuah imperatif. Jangan sampai Indonesia, dengan segala keramahannya, justru menjadi surga bagi mereka yang datang dengan niat buruk, mengancam ketertiban dan keamanan warga sendiri. Insiden di Pecatu harus menjadi titik balik, sebuah momentum untuk merajut kembali benang-benang koordinasi yang terputus, memperkuat pagar pengawasan, dan menegakkan hukum tanpa keraguan. Sebab, keadilan yang tumpul bagi warga asing, cepat atau lambat, akan menggerogoti keadilan bagi warga sendiri. (*) (Argus Darshan)
Baca juga:
Bebal