KEBIJAKAN pemerintah yang kian gencar memprioritaskan tenaga honorer dalam rekrutmen PPPK bukan sekadar isu, melainkan kenyataan pahit yang tercermin dalam data pengangguran lulusan baru. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah sarjana menganggur terus menjadi sorotan. Pada tahun 2024, angkanya mencapai 842.378 orang (CNBC Indonesia, 17 Januari 2025). Ironisnya, persentase pengangguran lulusan universitas bahkan meningkat dua kali lipat dalam satu dekade terakhir, mencapai 11,28% pada Agustus 2024 (GoodStats Data, 11 Desember 2024). Di sisi lain, pemerintah terus berupaya mengakomodasi tenaga honorer. Data dari DPR RI per Februari 2025 mencatat, dari 1,7 juta tenaga honorer, sebanyak 1,4 juta di antaranya telah diangkat menjadi PPPK (berkas.dpr.go.id, 1 Februari 2025). Namun, masalahnya, setiap tahun terus ada penambahan tenaga honorer baru, termasuk mereka yang sebelumnya belum terdata. Kebijakan yang memprioritaskan honorer ini secara tidak langsung menutup peluang bagi fresh graduate yang memiliki semangat dan potensi untuk berkontribusi. Q&A khusus PPPK Kementerian Agama tahun 2022 bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa fresh graduate tanpa pengalaman kerja minimal 2 tahun tidak dapat mendaftar (updatecpns.com). Hal ini sejalan dengan sorotan DPRD Kabupaten Mojokerto yang menilai persyaratan PPPK 2024 tidak fair bagi lulusan baru (radarmojokerto.jawapos.com, 23 Oktober 2024). Dampak kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh para pencari kerja, tetapi juga berpotensi mempengaruhi kualitas birokrasi di masa depan. Mengandalkan rekrutmen yang didominasi pengalaman masa lalu tanpa memberikan ruang yang memadai bagi inovasi dan gagasan segar dari generasi muda dapat menghambat kemajuan bangsa. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali formulasi kebijakan rekrutmen ASN dan PPPK. Keseimbangan antara menghargai pengabdian tenaga honorer dan memberikan kesempatan yang adil bagi lulusan baru adalah kunci untuk menciptakan birokrasi yang kompeten, inovatif, dan mampu menjawab tantangan zaman. Semangat mengabdi generasi muda jangan sampai pupus karena kebijakan yang kurang mengakomodasi potensi mereka. Oleh: I Dewa Gede Fathur Try Githa, S.Pd/Pekerjaan Media
Baca juga:
Bebal