Search

Home / Kolom / Opini

Ketika Hukum Berhadapan dengan Usia Senja

Dewa Fatur   |    22 Mei 2025    |   21:03:00 WITA

Ketika Hukum Berhadapan dengan Usia Senja
I Dewa Gede Fathur Try Githa (Foto: Dok/Pribadi)

PERSIDANGAN terhadap Ni Nyoman Reja, perempuan berusia 92 tahun yang menjadi terdakwa kasus dugaan pemalsuan silsilah keluarga di Pengadilan Negeri Denpasar, menjadi sorotan publik bukan semata karena pasal yang menjeratnya, tetapi karena usia dan kondisi fisiknya yang tak lagi prima.

Ia harus didampingi kursi roda dan sempat tampak kebingungan selama proses hukum berlangsung.

Pertanyaannya bukan soal apakah hukum harus ditegakkan, melainkan bagaimana hukum bisa tetap dijalankan tanpa kehilangan rasa adil dan kemanusiaan.

Karena sesungguhnya, hukum dan empati bukan dua hal yang saling meniadakan, melainkan bisa saling melengkapi.

Antara Keadilan Formil dan Substansi

Dalam kerangka hukum positif, asas equality before the law mengikat semua warga negara tanpa kecuali. Teori Hans Kelsen menegaskan bahwa norma hukum berlaku netral terhadap siapa pun subjek hukumnya. Jika ada dugaan tindak pidana, maka proses hukum tetap berjalan.

Namun, pada saat yang sama, pemikiran Gustav Radbruch memberi ruang untuk mempertimbangkan keadilan substantif.

Baginya, ketika hukum bertentangan dengan rasa keadilan manusiawi, maka keadilan harus diutamakan. Dan dalam konteks Reja seorang lansia yang mungkin sudah mengalami kepikunan pertimbangan itu menjadi relevan.

Alternatifnya bukan pembatalan proses hukum, tetapi pengelolaan proses yang lebih berempati: penangguhan penahanan, pendampingan psikologis, dan pembatasan paparan publik berlebih terhadap terdakwa lansia.

Suara dari Bali: Harmoni dan Restorasi

Dalam tradisi hukum lokal Bali, dikenal pendekatan penyelesaian berbasis harmoni (sima krama) dan pemulihan relasi sosial. Ahli hukum dari Bali, Anak Agung Ngurah Wirasila, menilai bahwa pendekatan restoratif bisa menjadi pilihan bijak ketika berhadapan dengan lansia.

Tidak untuk meniadakan pertanggungjawaban, tetapi untuk menjaga keseimbangan antara keadilan dan rasa hormat terhadap usia.

Apalagi jika perkara ini mengandung unsur waris atau sengketa keluarga, jalur perdata dan mediasi antar pihak bisa menjadi pintu masuk penyelesaian yang lebih damai.

Negara Tidak Perlu Kalah, Tapi Bisa Memilih Bijak

Hukum tak akan kehilangan wibawa bila memberi ruang kepada kebijaksanaan. Seperti diungkapkan Buya Syafii Maarif, hukum yang adil tak melulu kaku ia juga tahu kapan harus lentur.

Dalam konteks Reja, tidak ada yang memungkiri pentingnya proses hukum. Tapi negara bisa memilih untuk menjalankannya dengan pendekatan yang lebih manusiawi.

Memastikan hak-hak hukum Reja tetap dihormati, memberi ruang kepada tim pendamping yang memahami kondisi lansia, dan membatasi tindakan hukum yang bisa menambah trauma semua itu bukan kelemahan sistem hukum, justru menjadi kekuatannya.

Menemukan Ruang Keadilan di Ujung Usia

Ni Nyoman Reja bukan sekadar terdakwa dalam perkara hukum. Ia juga seorang lansia yang menjadi simbol pertemuan antara pasal dan usia, antara prosedur dan empati.

Negara tak perlu memilih antara hukum dan kemanusiaan karena keduanya bisa berjalan berdampingan.

Menjadi adil bukan sekadar menghukum, tapi juga tahu kapan harus menahan diri. Dalam hukum yang berwibawa, belas kasih bukan kelemahan melainkan bagian dari kebijaksanaan.

Oleh: I Dewa Gede Fathur Try Githa S.Pd/ Anggota DPD KNPI Provinsi Bali

 

Baca juga :
  • Pancasila: Bakti Kesetiaan Tanpa Tanya
  • Xana, Enrique dan Paris Saint-Germain
  • Orang Bali Takut Marah?