USIA empat puluh delapan. Sebentar lagi lima puluh. Saya tidak tahu sejak kapan waktu berhenti saya kejar. Dulu saya berjalan cepat. Kadang berlari. Kadang tersesat. Kini saya ingin berjalan saja. Cukup bisa bangun pagi dengan tubuh yang tak rewel. Cukup bisa merasa... bahwa saya tidak harus lebih. Saya tidak ingin kaya. Tapi saya tidak ingin kekurangan. Dan kalau Tuhan memberi cukup waktu, saya ingin pulang. Saya ingin membuka warung kopi kecil di kampung. Saya ingin menyediakan tempat Dan seperti kopi yang tinggal sedikit di dasar cangkir, Catatan kecil: (Menot Sukadana)
Baca juga :
Tak muda lagi, tapi belum benar-benar tua.
Seperti kopi yang mulai dingin, tapi aromanya masih tinggal sebentar di meja.
Angka yang dulu terasa jauh, kini pelan-pelan mendekat.
Dan saya mulai memandang hidup dari jendela yang lebih tenang—tidak lagi dari kaca spion yang tergesa.
Mungkin sejak tubuh mulai sering memberi tanda.
Atau sejak saya sadar bahwa tak semua yang saya kejar, benar-benar saya perlukan.
Saya pikir, hidup adalah soal menaklukkan.
Ternyata tidak.
Tidak lambat. Tapi cukup.
Cukup bisa duduk tanpa beban angka dan target.
Cukup bisa menulis.
Cukup bisa mendengar.
Tidak harus menang. Tidak harus di depan.
Saya tidak ingin dipuja. Tapi saya ingin dikenang.
Bukan karena apa yang saya punya, tapi karena apa yang saya tinggalkan.
Bukan ke rumah. Tapi ke diri saya sendiri.
Di tepi sawah.
Tempat di mana orang bisa duduk diam,
atau saling bicara tanpa harus terburu-buru.
untuk cerita yang tidak sempat dimuat di media.
Untuk suara-suara yang tak lagi dianggap penting.
Untuk jeda.
sisa hidup ini... ingin saya teguk pelan-pelan saja.
Tulisan ini saya buat di usia empat puluh delapan.
Sebentar lagi lima puluh.
Dan barangkali, inilah saat terbaik untuk tidak lagi mengejar terlalu banyak,
tetapi mulai menyiapkan ruang tenang untuk pulang.
Karena saya percaya,
hidup yang paling indah bukan yang paling ramai,
tapi yang paling jujur pada waktunya.
• Menulis di Tengah Klik
• Ingat Siapa Kita
• Warisan