Search

Home / Kolom / Jeda

Yang Lewat Bersama Waktu

Editor   |    30 Mei 2025    |   05:20:00 WITA

Yang Lewat Bersama Waktu
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

USIA empat puluh delapan.
Tak muda lagi, tapi belum benar-benar tua.
Seperti kopi yang mulai dingin, tapi aromanya masih tinggal sebentar di meja.

Sebentar lagi lima puluh.
Angka yang dulu terasa jauh, kini pelan-pelan mendekat.
Dan saya mulai memandang hidup dari jendela yang lebih tenang—tidak lagi dari kaca spion yang tergesa.

Saya tidak tahu sejak kapan waktu berhenti saya kejar.
Mungkin sejak tubuh mulai sering memberi tanda.
Atau sejak saya sadar bahwa tak semua yang saya kejar, benar-benar saya perlukan.

Dulu saya berjalan cepat. Kadang berlari. Kadang tersesat.
Saya pikir, hidup adalah soal menaklukkan.
Ternyata tidak.

Kini saya ingin berjalan saja.
Tidak lambat. Tapi cukup.

Cukup bisa bangun pagi dengan tubuh yang tak rewel.
Cukup bisa duduk tanpa beban angka dan target.
Cukup bisa menulis.
Cukup bisa mendengar.

Cukup bisa merasa... bahwa saya tidak harus lebih.
Tidak harus menang. Tidak harus di depan.

Saya tidak ingin kaya. Tapi saya tidak ingin kekurangan.
Saya tidak ingin dipuja. Tapi saya ingin dikenang.
Bukan karena apa yang saya punya, tapi karena apa yang saya tinggalkan.

Dan kalau Tuhan memberi cukup waktu, saya ingin pulang.
Bukan ke rumah. Tapi ke diri saya sendiri.

Saya ingin membuka warung kopi kecil di kampung.
Di tepi sawah.
Tempat di mana orang bisa duduk diam,
atau saling bicara tanpa harus terburu-buru.

Saya ingin menyediakan tempat
untuk cerita yang tidak sempat dimuat di media.
Untuk suara-suara yang tak lagi dianggap penting.
Untuk jeda.

Dan seperti kopi yang tinggal sedikit di dasar cangkir,
sisa hidup ini... ingin saya teguk pelan-pelan saja.

Catatan kecil:
Tulisan ini saya buat di usia empat puluh delapan.
Sebentar lagi lima puluh.
Dan barangkali, inilah saat terbaik untuk tidak lagi mengejar terlalu banyak,
tetapi mulai menyiapkan ruang tenang untuk pulang.
Karena saya percaya,
hidup yang paling indah bukan yang paling ramai,
tapi yang paling jujur pada waktunya.

(Menot Sukadana)

 

Baca juga :
  • Menulis di Tengah Klik
  • Ingat Siapa Kita
  • Warisan