Search

Home / Kolom / Jeda

Warisan

Editor   |    31 Mei 2025    |   05:03:00 WITA

Warisan
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SORE ITU, di sebuah warung kecil dekat Puspem Badung, saya duduk sendiri.
Kopi, rokok, dan lamunan yang seperti tak punya arah.
Sampai seorang lelaki tua datang. Kurus, kecil, jalannya pelan. Ia duduk tak jauh dari saya.
Bajunya putih, lengan tergulung, wajahnya asing—tapi ada sesuatu yang membuatnya terasa dekat.
Saya melihatnya lama. Ia tersenyum. Saya balas.

Lelaki itu, entah mengapa, mengingatkan saya pada ayah.

Mungkin karena senyumnya yang tenang. Mungkin karena caranya duduk diam, tanpa gelisah.
Atau mungkin karena, seperti ayah saya, ia tampak seperti seseorang yang menyimpan banyak cerita, tapi tak pernah merasa perlu menceritakannya.

Beberapa saat kemudian, seorang perempuan menjemputnya.
Mereka pergi. Tapi yang tertinggal bukan hanya asap rokok saya, atau sisa kopi.
Yang tertinggal adalah kenangan yang pelan-pelan membuka pintu:
Tentang seorang lelaki sederhana yang meninggalkan kampungnya bersama ibu saya, awal tahun 1970-an.
Dengan bekal seadanya—uang pas-pasan dan pendidikan yang minim—mereka berangkat ke Denpasar, yang saat itu masih satu wilayah administratif dengan Badung.

Saya teringat cerita almarhum ibu. Dalam bahasa Bali yang lirih dan jujur, beliau berkata:

Meme ajak Bapak Mang mekad ke Badung, nak ulian jengah. Mebekel tas kresek selem uek, mepamit sik Wayan di setra sekonden ke Badung.”
(Ibu bersama Bapak Mang berangkat ke Badung, Nak, karena merasa jengah—karena tekad untuk mengubah nasib setelah kehilangan. Membawa tas kresek hitam kecil, berpamitan pada Wayan di kuburan, lalu langsung menuju Badung.)

Wayan adalah kakak pertama saya. Ia meninggal pada usia tiga bulan—lahir prematur dan kekurangan gizi di kampung.
Kepergian ke Badung—wilayah yang kini kita kenal sebagai Denpasar—bukan sekadar perpindahan ruang, tapi juga perpindahan takdir.
Sebuah pernyataan diam dari dua orang yang kehilangan segalanya, lalu memutuskan untuk memulai dari sisa-sisa harapan.

Ayah mengidap asma akut sejak kecil. Lebih sering sakit daripada sehat. Tapi ia tetap bekerja.
Belasan tahun sebagai honorer di kantor pemerintah, hingga akhirnya diangkat sebagai PNS.
Kami hidup pas-pasan. Saya dan kakak kedua, Kadek, sejak kecil membantu ibu menjaga warung.

Ayah tak pernah banyak bicara. Tapi lewat hidupnya, kami belajar arti cukup.
Ia menyekolahkan adik-adiknya. Membantu tetangga.
Ia hanya punya sedikit pakaian. Tapi ia menabung. Ia merancang masa tuanya sendiri agar tak menjadi beban.

Yang paling saya ingat: ayah tak pernah serakah.
Ia bekerja jujur. Karena itu, dipercaya.
Cerita tentang kejujurannya masih saya dengar hingga hari ini, dari keluarga, dari orang kampung, dari mereka yang pernah dibantunya diam-diam.

Paman-paman saya sering berkata:

“Bapakmu itu sakit-sakitan dan tidak sekolah tinggi, tapi bisa bantu banyak orang. Kamu yang sehat dan sekolahan, belum tentu bisa seperti dia.”

Saya diam. Karena saya tahu, mereka mungkin benar.
Yang diwariskan ayah bukan kekayaan. Tapi cara menjalani hidup.
Cara menimbang, tanpa banyak bicara.
Cara memilih cukup, ketika bisa saja mengambil lebih.
Cara percaya, bahwa hidup tak perlu mencolok untuk menjadi berarti.

Sore itu, kopi saya sudah dingin. Rokok tinggal abu.
Langit mulai buram, tapi hati saya jernih:
Yang mati belum tentu pergi.
Sebagian dari mereka tetap tinggal, dalam cara kita hidup. (*)

Baca juga :
  • Menulis di Tengah Klik
  • Ingat Siapa Kita
  • Yang Lewat Bersama Waktu