MINGGU malam, 1 Juni 2025. Di teras rumah yang tak begitu terang, saya menyeduh kopi dan menyalakan sebatang rokok yang tinggal separuh. Di meja, terbuka sebuah buku: Sersan (Serius Tapi Santai)—kumpulan karya jurnalistik Rudy Badil. Seorang wartawan Kompas yang barangkali tak banyak dikenal generasi sekarang, tapi menyimpan rekam jejak menarik. Ia lulusan Antropologi UI, pecinta alam, pernah mendaki bersama Soe Hok Gie, dan dikenal sebagai salah satu pendiri Warkop DKI sebelum memilih jalannya sendiri: menjadi wartawan seutuhnya. Saya tak langsung membaca tulisannya. Justru berhenti cukup lama di kata pengantar Tri Agung Kristanto, Wakil Pemimpin Redaksi Kompas. Ia menulis begini: “Pekerjaan wartawan sesungguhnya merupakan gabungan dari tiga profesi: sastrawan, ilmuwan, dan panggilan.” Kalimat itu mematung dalam kepala saya. Mungkin karena saya tumbuh di masa transisi: era wartawan yang mulai meninggalkan mesin tik dan masuk ke komputer dan disket. Masih sempat mencatat pakai tape recorder berbentuk kaset, menyimpan data di disket 3.5 inci, dan mengetik di layar WordStar. Dulu, wartawan identik dengan buku catatan tebal, suara napas di antara wawancara, dan waktu yang memberi ruang untuk berpikir sebelum menulis. Hari ini, dunia bergerak terlalu cepat. Wartawan dikejar algoritma. Judul dipoles untuk klik. Tulisan ditentukan oleh tren bukan makna. Apa yang cepat jadi benar. Yang viral jadi patokan. Klik, simpan, kirim—seolah sudah selesai. Tak ada waktu lagi menyimak, apalagi meresapi. Saya tak sedang meratapi perubahan. Teknologi membawa kemudahan, itu benar. Tapi di antara laju yang gegas ini, kadang saya rindu satu hal: waktu untuk menyimak. Untuk mendengarkan narasumber tanpa terburu menyela. Untuk menulis tak hanya dengan jempol, tapi juga dengan rasa. Untuk mengendapkan makna sebelum dipoles jadi kalimat. Sindhunata, wartawan senior Kompas, pernah bilang: wartawan adalah pekerjaan kaki, baru setelah itu pekerjaan otak. Ia turun ke lapangan, mencatat, mencium bau tanah, melihat arah angin, lalu menuliskannya dengan hati-hati agar sampai ke pembaca tanpa bias. Kini, tak jarang pekerjaan wartawan seolah hanya pekerjaan jempol. Scroll, salin, unggah. Yang penting cepat, yang penting ramai. Tapi dalam proses yang tergesa-gesa itu, sesuatu sering hilang: empati, kedalaman, dan tanggung jawab atas kata-kata. Saya jadi teringat Rudy Badil. Ia tak dikenal sebagai wartawan investigatif atau headline hunter. Tapi ia menulis dengan jujur, dalam, dan jenaka. Ia tahu cara menyentuh pembaca dengan kalimat sederhana yang disusun pelan-pelan. Mungkin karena ia terbiasa memandang manusia seperti seorang antropolog: tak buru-buru menghakimi, lebih suka menyimak. Malam itu, saya membaca satu demi satu esainya, sambil membayangkan ia mengetik di ruang redaksi dengan kopi dan cerita. Tak ada target views. Tak ada "naskah clickbait" di kepala. Hanya satu niat: agar yang dibaca punya makna. Mungkin kita tak bisa lagi mengulang masa itu. Tapi setidaknya, kita masih bisa mengingat satu hal: bahwa wartawan bukan sekadar penyampai cepat, tapi juga penjaga makna. Bahwa kadang, menulis yang baik tak lahir dari kecepatan, melainkan dari keberanian untuk melambat dan menyimak. Seperti kopi yang enak diseruput pelan-pelan, tulisan pun seharusnya disajikan dengan jeda. Dalam riuhnya arus informasi yang memburu, keberanian untuk menepi sejenak, merenung, dan menyimak, mungkin adalah bentuk resistensi paling penting bagi jurnalisme yang sejati. (*) (Menot Sukadana)
Baca juga :
• Ingat Siapa Kita
• Warisan
• Yang Lewat Bersama Waktu