Search

Home / Aktual / Sosial Budaya

Ngerebong di Jalan Raya: Saat Tradisi Sakral Menyapa Kota

Editor   |    01 Juni 2025    |   20:17:00 WITA

Ngerebong di Jalan Raya: Saat Tradisi Sakral Menyapa Kota
Duta Denpasar tampilkan Ngerebong, harmonikan tradisi sakral dengan semangat muda di jalan kota. (podiumnews)

DENPASAR, PODIUMNEWS.com – Di bawah mentari pagi yang belum terlalu tinggi, halaman Gedung Dharma Negara Alaya (DNA) Denpasar berubah menjadi panggung gladi yang sarat nuansa spiritual. Ratusan penari muda, sebagian besar dari sanggar dan sekaa teruna Kota Denpasar, tengah berlatih barisan pawai, memanggul gebogan, menari rerejangan, dan menyatu dalam harmoni gerak yang menggambarkan satu tema utama: Ngerebong.

Gladi ini adalah bagian dari persiapan Pawai Peed Aya Duta Kota Denpasar menuju Pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII Tahun 2025 yang akan digelar pada 21 Juni mendatang. Dipimpin oleh Bala Bali Dance Group, sajian Duta Kota Denpasar tahun ini mengusung pesan yang tak biasa: membawa Ngerebong dari pura ke jalan raya.

Ngerebong, ritual khas Desa Adat Kesiman, dikenal sebagai perwujudan ajaran Jagat Kerthi—memuliakan dan menyucikan alam semesta melalui jalan spiritual. Biasanya, ritual ini berlangsung di jaba pura, penuh keramaian warga yang menyaksikan warga terunyanan (kerauhan) menari di bawah payung putih, sebagai simbol kekuatan tak kasatmata.

Kini, esensi itu dibawa keluar—dijadikan tema utama dalam Pawai PKB, menjadikannya simbol bagaimana Denpasar menyapa publik dengan akar tradisinya, bukan sekadar menampilkan tari-tarian eksotis.

“Ngerebong ini bukan sekadar pertunjukan, tapi pesan yang dalam. Bahwa menjaga jagat tidak hanya soal fisik, tapi juga membersihkan batin, menata hubungan dengan sesama, dan menghormati leluhur,” ujar Koordinator Pawai Duta Kota Denpasar, Ida Bagus Eka Harista, usai gladi, Minggu (1/6/2025).

Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, hadir langsung meninjau gladi dan memberikan semangat kepada peserta. Ia tampak menyimak satu per satu rangkaian, dari Jegeg Bagus, Gebogan, Pependetan, Topeng Panca, hingga Ogoh-Ogoh yang menjadi penutup artistik.

“Yang kami lihat sudah sangat baik dan matang. Sekarang tinggal bagaimana menjaga konsistensi agar tampil optimal saat PKB nanti,” ujar Walikota.

Ia juga menyampaikan apresiasi kepada orang tua peserta yang dengan sepenuh hati mendampingi anak-anaknya berproses dalam seni tradisi. “Ini bukan hanya soal tampil, tapi tentang pembentukan karakter generasi muda yang cinta budaya,” tambahnya.

Pawai PKB bukan sekadar arak-arakan. Ia adalah panggung raksasa yang melintasi jalan-jalan utama Denpasar, mempertemukan seni dengan masyarakat lintas usia, lintas latar. Dan tahun ini, Kota Denpasar seakan ingin mengingatkan: bahwa ruang publik bisa menjadi ruang sakral, tempat nilai-nilai luhur ditampilkan dengan cara yang menyentuh.

“Kami ingin membawa ruh Ngerebong ke ruang yang lebih luas, agar publik memahami bahwa Bali tak hanya soal visual, tapi juga tentang nilai dan keseimbangan hidup,” ucap Harista.

Ratusan peserta yang terlibat berasal dari berbagai komunitas: sanggar, sekolah, sekaa teruna. Mereka menari, membawa gebogan, memerankan tokoh-tokoh sakral. Mereka menyulam tubuh kota dengan warna-warna warisan leluhur.

Pawai Denpasar tahun ini bukan hanya pawai. Ia adalah perjalanan spiritual dalam langkah-langkah koreografi, di jalan-jalan yang biasanya dipakai untuk kendaraan kini dialiri makna.

Dan ketika Ngerebong turun ke jalan, Denpasar bukan sekadar kota kreatif—tapi kota yang masih tahu caranya menghaturkan hormat kepada jagat dan leluhur. (fathur/suteja)

 

Baca juga :
  • Sampah Selesai di Desa, Bukan di TPA
  • Karnaval Pancasila Pertama Bali Digelar di Titik Nol
  • Dari Pura untuk Alam: Gerakan Kelola Sampah Organik Dimulai