Search

Home / Aktual / Sosial Budaya

Kurasi Seni, Ruang yang Masih Sepi di Bali

Editor   |    11 Juni 2025    |   20:39:00 WITA

Kurasi Seni, Ruang yang Masih Sepi di Bali
Dian Dewi Reich. (dok/pribadi)

DALAM dunia seni rupa, istilah kurator sudah lama dikenal di kancah internasional. Namun di Indonesia, terlebih lagi di Bali yang dikenal sebagai salah satu pusat seni Nusantara, praktik kurasi masih belum banyak dipahami secara utuh. Tak jarang pameran seni berlangsung tanpa sentuhan kuratorial yang mendalam. Banyak seniman bahkan belum menyadari peran penting kurator dalam membangun narasi dan konteks dari sebuah karya seni. Untuk menggali lebih jauh soal ini, kami berbincang dengan Dian Dewi Reich, seorang seniman, penulis, sekaligus kurator independen yang telah menetap di Bali sejak 2002.

Bagaimana awal perjalanan Mbak Dian hingga akhirnya dikenal sebagai kurator seni?

Saya lahir di Sydney, besar di Indonesia, dan tinggal di Bali sejak 2002. Latar belakang pendidikan saya seni murni, saya lulusan National Art School di Australia. Sejak awal memang sudah tertarik pada seni, tapi perjalanan saya berliku—kadang bukan pilihan, tapi mengalir begitu saja. Peran kurator muncul secara alami, terutama ketika pandemi. Waktu itu saya mencoba menghidupkan kembali semangat kreatif bersama teman-teman komunitas di Ubud. Dari situ saya menyadari, bahwa saya sudah lama merindukan dunia seni, dan kurasi adalah bagian dari perjalanan itu.

Dalam praktiknya, seperti apa Mbak melihat posisi kurator di Indonesia dan Bali khususnya?

Kurator sebagai profesi masih sangat jarang, bahkan di Bali. Banyak galeri tidak menjalankan proses kuratorial secara sadar. Padahal, setiap galeri idealnya punya identitas yang mencerminkan visi, misi, dan nilai seni yang mereka anut. Kurasi itu bukan hanya soal memilih karya yang "bagus", tapi tentang membangun narasi, menyampaikan pesan, dan mengajak audiens berpikir atau merasakan sesuatu. Tapi karena banyak galeri berperan sebagai toko, maka proses seleksi karya hanya berbasis selera pasar. Ini yang membedakan kurasi yang sesungguhnya dengan sekadar memilih karya untuk dipajang.

Jadi semua pameran sebenarnya memiliki kurasi, hanya tujuannya berbeda?

Betul. Setiap seleksi adalah kurasi, tapi bentuk dan fungsinya bisa sangat berbeda. Misalnya, kurasi untuk dekoratif art tentu berbeda dengan kurasi tematik untuk pameran seni kontemporer atau sejarah seni. Yang penting adalah kesadaran: apa tujuan dari seleksi ini? Apakah untuk menjual, untuk mendidik, untuk menyampaikan kritik sosial, atau mungkin untuk menggugah perasaan tertentu?

Apa tantangan paling besar dalam praktik kurasi seni di sini?

Tantangannya adalah kurangnya pemahaman terhadap pentingnya proses. Banyak pihak lebih fokus pada hasil akhir—karya, pameran, penjualan—daripada menghargai proses kreatif di baliknya. Padahal seni itu hidup dalam proses. Kita tidak bisa mengukur makna hanya dari bentuk visual. Kurasi yang baik justru membantu mengungkap lapisan-lapisan makna itu, dan memberi ruang bagi audiens untuk ikut merasakannya.

Apa makna seni bagi Mbak Dian secara pribadi?

Bagi saya, seni adalah jembatan. Ia melampaui bahasa dan budaya. Energi kreatif itu universal. Lewat seni, kita bisa menyambungkan hal-hal yang biasanya terpisah oleh sekat pikiran, budaya, bahkan kelas sosial. Seni itu bahasa yang bisa dirasakan semua orang, tanpa harus mengerti teori atau istilah. Seni bisa menyembuhkan, memberi harapan, dan menumbuhkan empati.

Apakah seni harus selalu tampil sempurna?

Tidak. Seniman harus diberi ruang untuk gagal. Kalau kita hanya memberi tempat pada karya yang sempurna atau sesuai selera pasar, maka kreativitas akan mati. Kurator harus berani memberi ruang eksperimental, membiarkan proses berjalan meski belum tentu hasilnya “ideal”. Kita sering lupa, kegagalan adalah bagian penting dari pencapaian artistik. Kita belajar dari proses yang tidak sempurna itu.

Dalam pengalaman Mbak, seperti apa idealnya peran kurator?

Kurator bukan hanya perpanjangan tangan galeri atau penyelenggara. Kurator adalah jembatan antara seniman, karya, dan audiens. Kita harus memahami konteks sosial, budaya, bahkan psikologis dari sebuah karya. Dalam beberapa proyek, saya sengaja tidak mengikuti pakem kurasi formal. Saya beri ruang eksperimen, bahkan kadang seperti “melempar dadu”—karena kadang justru dalam ketidakterdugaan itu muncul sesuatu yang jujur dan menyentuh.

Bagaimana Mbak melihat posisi seni Bali hari ini?

Bali punya warisan budaya yang luar biasa. Tapi karena sudah terbiasa hidup di dalamnya, sering kali masyarakat sendiri menyepelekan kekayaan itu. Banyak yang sekarang lebih melihat seni sebagai komoditas, bukan warisan yang harus dirawat. Ketika budaya dikomersialisasi tanpa kesadaran, kita kehilangan ruhnya. Padahal banyak orang dari luar datang ke Bali bukan karena alamnya semata, tapi karena kebudayaannya yang hidup.

Apa harapan Mbak untuk masa depan kurasi di Indonesia?

Saya berharap akan ada lebih banyak kesadaran tentang pentingnya kurasi yang reflektif, yang punya konteks dan narasi. Kurasi bisa menjadi alat untuk memahami jati diri budaya kita, menyuarakan isu-isu penting, dan memperkuat masyarakat melalui seni. Seni bukan hanya soal keindahan visual, tapi juga cermin kondisi sosial. Kalau seni kita sehat, kemungkinan besar masyarakat kita juga sedang menuju ke arah yang sehat.

Penutup:

Dalam perbincangan ini, satu hal yang terasa kuat adalah keyakinan Dian bahwa seni bukan sesuatu yang eksklusif, melainkan milik semua orang. Ia percaya bahwa seni yang jujur, yang dilahirkan dari proses dan bukan sekadar hasil, akan selalu menemukan tempatnya. Dan bahwa tugas seorang kurator bukan hanya memilih dan memajang karya, tetapi menumbuhkan ruang di mana makna bisa tumbuh—baik bagi seniman maupun bagi masyarakat. (*)

Penulis: Angga Wijaya

Editor: Sukadana

Baca juga :
  • 20 Negara Ikut Rare Angon Festival Internasional di Denpasar
  • Restorasi Kori Agung Cagar Budaya Pura Dalem Tohpati Rampung
  • Putri Koster: Bali Butuh Arsip Maestro Seni, Bukan Penjajahan