Search

Home / Kolom / Jeda

Tembakan di Tengah Aroma

Editor   |    15 Juni 2025    |   01:52:00 WITA

Tembakan di Tengah Aroma
Menot Sukadana. (dok/podiumnews)

MALAM di Munggu semestinya tenang. Angin dari arah Seseh biasanya membawa aroma garam dan sunyi, menyelinap pelan melewati sela-sela pagar vila. Tapi dini hari itu, keheningan berubah rupa.

Seperti kopi yang diseruput pelan saat dini hari—masih hangat, membawa teduh—lalu tumpah tiba-tiba oleh getar tangan yang panik. Sunyi mendadak terbelah oleh dentuman dan darah. Bali, yang biasanya menyuguhkan keteduhan untuk tamunya, kali ini menyodorkan sesuatu yang getir: suara peluru dan desakan napas terakhir.

Vila-vila mewah itu dulunya tanah sawah. Tempat anak-anak berlarian, petani menanam, dan upacara kecil berlangsung setiap purnama. Sekarang, dinding-dinding tinggi menutup pandang warga, menyekat semilir angin dari laut. Tapi malam itu, sekat itu jebol. Bukan oleh angin, melainkan oleh jerit yang menggema dari kamar mandi dan peluru yang menembus kaca jendela.

Dua orang asing, yang mestinya membawa dolar dan cerita indah, malah menjadi korban. Satu tewas. Satu kritis. Puluhan proyektil berserakan di lantai vila seperti ampas yang tak lagi bisa diseduh—hanya bisa disapu, disingkirkan, dan ditinggalkan sebagai noda yang tak pernah benar-benar hilang.

Ada sesuatu yang janggal—pelaku berbicara dengan logat Australia. Kata polisi, salah satu dari mereka sempat berteriak: “I CAN’T START MY BIKE.” Kalimat yang biasanya kita dengar di pinggir pantai, di antara tawa dan cerutu, kini menjadi bagian dari kronologi berdarah. Apakah itu kamuflase? Atau justru petunjuk bahwa yang datang bukan orang asing sepenuhnya—melainkan kawan lama yang telah berubah menjadi pemburu?

Kita pernah percaya bahwa malam Bali menyimpan doa dan dewa-dewa, bukan dendam bersenjata yang memakai helm gelap. Tapi dunia berubah. Di pulau yang dipuja karena spiritualitasnya, nyawa kini bisa diambil dengan senjata otomatis. Di kamar yang mestinya jadi tempat istirahat, kini bisa menjadi tempat ajal.

Saat menyusun potongan demi potongan kabar ini, saya teringat kata-kata Albert Camus. Ia pernah menulis, “Di tengah musim dingin, aku menemukan, dalam diriku, ada musim panas yang tak terkalahkan.” Bukan soal cuaca, tentu saja, tapi tentang ketahanan. Tentang bagaimana, dalam momen paling dingin dan gelap dari hidup, manusia masih bisa menemukan nyala kecil dalam dirinya sendiri. Sebentuk harapan. Atau setidaknya, keberanian untuk tetap percaya pada makna hidup—meski dunia di luar sedang tak waras.

Saya membayangkan istri-istri korban itu. Terjaga oleh ledakan, tak sempat memeluk suami. Mereka tak ingin jadi saksi sejarah, hanya ingin menghabiskan liburan. Tapi hidup kadang memilih panggungnya sendiri—dan memaksa siapa pun berdiri di tengahnya, meski gemetar, meski tanpa naskah.

Logat Australia itu masih menggantung di udara. Seperti kopi yang sudah dingin tapi masih menyisakan aroma—samar, getir, dan tak mudah dijelaskan. Apakah itu tanda dari lingkaran yang sama? Bisnis gelap? Dendam dari negeri seberang? Kita belum tahu. Polisi bekerja. Tapi Bali sudah terbangun—dan tak bisa lagi memejamkan mata.

Peristiwa ini akan masuk dalam siaran pers, rapat keamanan, dan laporan statistik. Tapi lebih dari itu, ia mengetuk kesadaran kita: bahwa keamanan bukan soal baliho pariwisata atau jargon “Welcome to Bali,” melainkan soal ruang-ruang hidup yang mestinya tak ditembus peluru. Ruang tidur, ruang doa, ruang damai.

Di meja saya, secangkir kopi Bali mulai mendingin. Tapi bukan itu yang paling membuat saya diam. Yang membuat saya tercekat adalah kenyataan bahwa bahkan tempat yang kita anggap aman, bisa menjadi titik akhir seseorang—dengan cara yang tak layak diterima siapa pun.

Kopi ini tak lagi terasa nikmat. Tapi saya tetap meneguknya. Karena kadang, kita memang harus menelan pahit. Agar tak lupa rasanya hidup. Agar tahu: menjadi manusia, adalah memilih tetap hangat—bahkan di tengah musim dingin yang panjang. (*)

Menot Sukadana

Peracik kata yang menyeduh realitas dari balik cangkir kopi

 

Baca juga :
  • Merancang Rumah dari Kata
  • Padi, Plastik, dan Pengakuan
  • Macet dan Kita yang Terburu