Search

Home / Kolom / Editorial

Rasa Aman yang Terpinggirkan

Editor   |    16 Juni 2025    |   02:12:00 WITA

Rasa Aman yang Terpinggirkan
Editorial. (Podiumnews)

BALI selalu dijual sebagai pulau damai. Tapi rasa aman yang ditawarkan pada brosur pariwisata, tak selalu dirasakan mereka yang lahir dan tinggal di sini. Kenyamanan wisatawan kerap menjadi prioritas utama. Sementara warga lokal, justru semakin sering bertanya: apakah kami masih aman di rumah sendiri?

Fakta berbicara. Pelanggaran hukum yang melibatkan warga negara asing melonjak tajam. Tahun 2024 mencatat 226 kasus kriminal yang melibatkan WNA, meningkat hampir lima puluh persen dibanding tahun sebelumnya. Dari narkoba, prostitusi online, kejahatan digital, hingga penyalahgunaan visa. Ragam pelanggaran ini terus menghantui. Deportasi memang dilakukan, tapi itu hanya menyingkirkan pelaku, bukan membasmi akar persoalan yang semakin merajalela.

Ketimpangan perlakuan ini begitu mencolok. Ingat insiden penembakan di vila Munggu yang korbannya Warga Negara Australia? Aparat bergerak dalam hitungan jam, responsnya cepat dan sigap. Namun, ketika warga lokal diperas, ditabrak, atau bahkan dihina secara budaya, penanganan seringkali begitu lambat, bahkan mengendap tanpa tindak lanjut. Seolah-olah nyawa dan martabat warga lokal memiliki harga yang berbeda.

Di beberapa desa wisata, pemandangan WNA membuka usaha ilegal, melanggar tata ruang, dan mengusik nilai adat sudah menjadi hal lumrah. Komplain masyarakat kerap mentok di birokrasi, seakan-akan jeritan mereka hanya angin lalu. Penegakan hukum baru bertaji ketika kasusnya viral di media sosial, sisanya? Warga dibiarkan menghadapi sendiri keresahan yang perlahan berubah menjadi ketakutan.

Pemerintah Provinsi Bali memang telah menyatakan komitmennya untuk menjaga kearifan lokal. Namun, komitmen ini harus terwujud dalam aksi konkret, bukan sekadar retorika. TIMPORA harus bertaji, bukan menjadi macan ompong. Desa adat perlu diperkuat, tidak hanya sebagai penjaga tradisi, melainkan juga sebagai garda pertama rasa aman warga. Aparat penegak hukum tidak bisa lagi bersikap lunak hanya karena pelakunya memegang paspor asing. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu.

Bali bukan sekadar destinasi. Ia adalah rumah. Dan rumah harus dilindungi, bukan diobral habis-habisan. Pariwisata memang penting bagi perekonomian, tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk menyingkirkan hak warga lokal atas rasa aman, atas keadilan, dan atas tanah tempat mereka menanam dan menyembah.

Kami, warga Bali, tidak menolak tamu. Tapi kami menolak ketimpangan. Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul pada mereka yang membawa paspor asing, maka Bali sedang kehilangan arah dan jati dirinya.

Rasa aman tidak boleh menjadi barang eksklusif. Ia tidak untuk diperdagangkan. Rasa aman harus adil dibagikan untuk wisatawan, dan jauh lebih penting, untuk warga yang telah merawat dan menjaga pulau ini sejak lama. (*)

 

Baca juga :
  • Menertibkan, Bukan Menghukum
  • Denpasar dan Jalan Moderasi
  • Bersih Itu Bukan Seremonial