Search

Home / Kolom / Jeda

Menjadi Seni Itu Sendiri

Editor   |    20 Juni 2025    |   00:10:00 WITA

Menjadi Seni Itu Sendiri
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

LANGKAHNYA mungkin tak lagi secepat dulu, tapi semangatnya tetap utuh. Ida Bagus Anom Ranuara, di usia 82 tahun, masih berdiri tegap di panggung kecil yang telah ia rawat hampir setengah abad. Bukan untuk tampil, tapi untuk tetap menjaga nyala—agar seni tak hanya hidup, tapi juga menumbuhkan.

Teater Mini, panggung kecil yang ia dirikan hampir lima dekade lalu, bukan sekadar ruang pertunjukan. Ia adalah taman belajar jiwa. Tempat anak-anak muda menempa diri, mengenal kata, menjelajahi rasa, dan pada akhirnya, membangun karakter. Di sanalah seni bukan hanya ditonton, tapi dijalani.

Perayaan HUT ke-47 Teater Mini yang digelar sore 18 Juni 2025 lalu di Kertasaba, Jayasabha, terasa seperti pelukan sunyi bagi seorang guru. Tak banyak tepuk tangan gemuruh. Tapi ada getar yang mengendap—dari puisi yang dibacakan Teater Angin, dari dokumentasi lakon Dewi Sukesi, dari wajah-wajah lama yang datang memberi hormat. Termasuk dari Putri Suastini Koster, yang dengan jujur berkata, “Tanpa Teater Mini, mungkin saya tidak akan punya cukup kepercayaan diri seperti sekarang.”

Itu bukan pujian kosong. Sebab Teater Mini, di bawah bimbingan Anom Ranuara, bukanlah ruang hiburan. Ia adalah ruang pembentukan. Bukan popularitas yang dicari, tapi pembelajaran. “Seni peran adalah cara mengasah karakter,” ucap Putri Suastini—dan kalimat itu seperti membuka makna yang lebih dalam: bahwa seni sejati adalah pendidikan batin.

Saya teringat pada jejak Kazuo Ohno, maestro tari asal Jepang. Ia dikenal menari bukan dengan teknik, tetapi dengan hati. Ia pernah digambarkan sebagai seniman yang bahkan ketika tak tahu harus menari apa, ia tetap menari dengan jiwanya. Dan Anom Ranuara, dalam diam dan keteguhannya, seperti membawa roh yang sama. Ia tak sedang menghibur penonton—ia mendidik kehidupan.

Anom Ranuara adalah cerminan pemikiran Albert Schweitzer: “Contoh bukanlah hal utama dalam mendidik orang lain — itu adalah satu-satunya.”

Dalam laku hidupnya, Anom Ranuara telah menjadi contoh itu. Ia tidak banyak bicara, tapi hadir. Tidak banyak menuntut, tapi memberi. Dari balik tirai panggung yang tak selalu disorot cahaya, ia telah memberi terang.

Bali barangkali tak pernah cukup berterima kasih. Tapi seni, dan anak-anak muda yang pernah disentuhnya, tahu siapa yang telah menjadi mata air. Di usia yang tak muda, ia tidak menjadi legenda yang dibekukan dalam pujian, tapi terus hidup—dalam naskah, dalam langkah, dalam ruang-ruang kecil yang menyala pelan, tapi tahan lama.

Anom Ranuara tak sedang mencintai seni. Ia telah menjadi seni itu sendiri. (*)

Menot Sukadanan

 

Baca juga :
  • Yang Tergantung di Lemari
  • Rumah yang Ditemukan
  • Saat Kata Tak Lagi Didengar