SAAT usia 82 tahun, ketika banyak orang memilih diam dan menepi, Ida Bagus Anom Ranuara justru masih berdiri tegap di tengah para seniman muda. Panggung kecil yang ia dirikan hampir lima dekade lalu, Teater Mini, masih menjadi tempat berkumpul, belajar, dan menumbuhkan karakter. Sebuah warisan yang bukan sekadar seni, tetapi juga laku hidup yang dijalani sepenuh jiwa. Peringatan HUT ke-47 Teater Mini yang berlangsung Rabu (18/6/2025) sore di Kertasaba, Jayasabha, rumah jabatan Gubernur Bali, menjadi lebih dari sekadar perayaan. Ia adalah penghormatan diam-diam untuk seorang guru yang membaktikan hidupnya di balik tirai panggung. Dalam acara itu, ditayangkan dokumentasi drama klasik Dewi Sukesi, salah satu karya monumental Teater Mini. Sejumlah tokoh seni dan sahabat lama hadir memberi penghormatan. Pembacaan puisi oleh komunitas Teater Angin pun menambah keintiman suasana sore itu. Ibu Putri Suastini Koster, yang juga hadir, menyebut Teater Mini sebagai rumah seninya sejak muda. Sebagai pelopor drama klasik Bali, Anom Ranuara bukan hanya menciptakan naskah atau mementaskan lakon. Ia membentuk karakter, menanamkan nilai, dan memberi arah pada anak-anak muda yang ingin tumbuh lewat dunia seni. Teater baginya bukan soal popularitas, tetapi alat pendidikan jiwa. “Seni peran adalah cara mengasah karakter,” tegas Putri Suastini. “Keterlibatan yang serius dalam seni akan mempertajam talenta dan membentuk pribadi yang kuat.” Pada kesempatan yang sama, Direktur Jasa Marga Bali Tol turut hadir dan menyatakan komitmen menjadi orang tua asuh bagi Teater Mini. Dukungan itu diharapkan bisa memperpanjang napas wadah seni yang sudah nyaris setengah abad bertahan dari satu generasi ke generasi lainnya. Acara sederhana itu justru menyimpan pesan yang dalam. Di tengah perubahan zaman dan gempuran digital, Anom Ranuara tetap teguh berdiri dengan naskah, dialog, dan panggung kecilnya. Ia mungkin tidak viral, tetapi namanya hidup dalam ratusan murid yang pernah disentuhnya dengan laku seni dan kasih mendalam. “Selamat ulang tahun ke-47 Teater Mini,” tutup Putri Suastini. “Semoga terus menjadi ruang yang terbuka bagi generasi muda dalam mengasah bakat dan membangun karakter melalui seni.” Dan kepada Anom Ranuara, Bali barangkali tak pernah cukup berterima kasih. Tapi dari ruang-ruang kecil di balik panggung yang tak selalu disorot cahaya, ia telah memberi terang. Dengan cara yang paling jujur, ia telah menjadi seni itu sendiri. (sukadana/suteja)
Baca juga :
“Di sinilah saya pertama kali mengenal panggung, puisi, dan keberanian. Tanpa Teater Mini, mungkin saya tidak akan punya cukup kepercayaan diri seperti sekarang,” ujarnya.
• Kadek Sonia dan Makna Literasi Emosional
• Miroslaw Wawrowski, Lelaki yang Menanam Bali di Polandia
• Putri Koster dan Sungai yang Kotor: Keteladanan dari Lumpur