PERISTIWA diamankannya lima remaja asal Pemalang dan Cirebon di kawasan Teluk Gilimanuk, Jembrana, menjadi tamparan sunyi yang patut direnungkan oleh kita semua. Mereka, empat laki-laki dan satu perempuan, melintasi lintas provinsi, menumpang kendaraan barang, tanpa identitas, tanpa bekal memadai, dan tanpa siapa pun yang menjamin keselamatan mereka. Mereka bukan pelaku kriminal, tapi juga bukan sekadar pelancong. Mereka adalah cerminan dari anak-anak bangsa yang kehilangan arah namun tetap berani melangkah. Langkah yang, sayangnya, tidak dibekali pengetahuan, perlindungan, maupun pengawasan yang layak. Di era ketika batas administratif semakin diperketat dan sistem pengawasan makin canggih, muncul ironi. Anak-anak ini tetap bisa menempuh perjalanan jauh tanpa selembar kartu identitas pun. Lebih mencemaskan, mereka menggunakan nama palsu demi bisa menyeberang ke Bali. Ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi soal minimnya literasi hukum dan kesadaran risiko yang seharusnya ditanamkan sejak dini. Kita patut mengapresiasi tindakan cepat Lurah Gilimanuk dan jajarannya dalam menangani kasus ini secara humanis. Namun, tidak cukup hanya mengembalikan mereka ke daerah asal. Perlu evaluasi menyeluruh dari berbagai lini: pengawasan keluarga, sistem pendidikan, hingga mekanisme penjagaan lintas wilayah. Ini bukan soal menyalahkan siapa pun, tapi soal menyadari bahwa ketidakhadiran kita bisa berujung pada arah yang hilang. Negara dan masyarakat tidak boleh hanya hadir saat sudah ada masalah. Kita harus hadir lebih awal, di rumah, di sekolah, di ruang-ruang dialog. Bukan untuk mengendalikan mereka, tapi untuk menjadi penunjuk arah ketika mereka mulai kehilangan pegangan. Jika satu saja dari lima remaja itu mengalami kekerasan dalam perjalanan sunyi mereka, barangkali kita sudah terlambat. Untungnya, kali ini mereka ditemukan. Tapi apakah kita bisa menjamin bahwa yang lain tak akan menyusul?
Baca juga :
• Rasa Aman yang Terpinggirkan
• Ekraf: Jalan Baru Bali Menata Ulang Arah
• Separuh Devisa, Seperempat Perhatian?