DI ZAMAN ini, kata tak lagi punya ruang untuk tinggal lama. Ia datang, dilempar, ditarik, dipelintir, lalu ditinggal. Kalimat-kalimat berhamburan setiap detik, bersaing memanggil perhatian di tengah layar yang tak pernah tidur. Tapi semakin banyak yang bicara, semakin sedikit yang mendengar. Kita hidup dalam banjir kata. Berita datang silih berganti. Caption, headline, komentar, notifikasi. Setiap hari ada yang viral, setiap hari ada yang dilupakan. Dunia seperti berlomba jadi gaduh, dan di tengah keramaian itu, kata-kata yang jujur terdorong ke pinggir. Di ruang-ruang sunyi, masih ada yang menulis dengan hati. Masih ada yang menyusun kalimat dengan cemas dan cermat. Bukan untuk sensasi, bukan untuk sorotan, tapi untuk menyampaikan suara yang tak punya pengeras. Tapi kata-kata seperti itu kadang tak sempat tiba. Ia kalah cepat, kalah ramai, kalah algoritma. Pramoedya Ananta Toer pernah menulis, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.” Tapi bahkan yang menulis pun kini bisa hilang—bukan karena tak pandai, tapi karena tak didengar. Dan itu jauh lebih menyakitkan. Seorang rekan jurnalis bercerita, ia menulis panjang tentang konflik agraria yang rumit. Ditelusuri dengan teliti, dikonfirmasi berulang, disusun dengan hati-hati. Tapi saat tayang, hanya segelintir orang yang membaca. Beberapa menit setelahnya, pemberitaan tentang influencer yang ribut di pesawat justru membanjiri lini masa. Yang rumit dilangkahi, yang dangkal disukai. Di sinilah saya kembali pada secangkir kopi. Kopi yang baik bukan yang tercepat disajikan. Ia butuh waktu. Butuh kesabaran. Butuh suhu yang tepat, takaran yang pas, dan tangan yang mau menunggu. Ia tidak hadir untuk diseruput sambil lalu, tapi untuk menemani yang ingin duduk diam dan mendengar. Begitu pula kata-kata yang lahir dari hati. Ia tak mengejar viral, tapi menawarkan makna. Seno Gumira Ajidarma pernah menulis, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena jurnalisme menyampaikan fakta, tapi sastra menyampaikan kebenaran.” Dan barangkali, di zaman ketika fakta pun kalah dari sorotan semu, kita harus menjaga kebenaran lewat kata yang tetap setia pada nurani. Tulisan-tulisan jujur kini berjalan pelan. Tapi justru karena pelan, ia bisa tinggal lebih lama. Tidak semua orang mau membaca yang dalam. Tapi mereka yang sempat berhenti sejenak, yang mau mendengar, akan menemukan sesuatu yang tinggal—lebih dari sekadar informasi. Kita tidak bisa membungkam kegaduhan. Tapi kita bisa menciptakan ruang kecil di dalamnya. Sebuah sudut tenang di mana kata bisa duduk, kopi bisa diseruput perlahan, dan hati bisa kembali mendengar. Karena kata-kata yang sungguh—seperti kopi yang jujur—tidak datang untuk membuatmu tergesa. Ia hadir untuk menemanimu pulang. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Perjalanan Tanpa Nama
• Hak atas Rasa Aman
• Nuturang Hati