MALAM itu, Denpasar masih gaduh oleh suara jalan. Tapi kami menepi. Kami duduk di Warung Mina, Peguyangan. Saya memesan kopi dan pisang goreng—ritual kecil yang tak pernah saya anggap remeh. Ada rasa yang tak dijelaskan dari hal-hal sederhana seperti itu, seolah waktu yang kacau bisa ditenangkan hanya dengan menyeruput pahit pelan-pelan. KP, rekan lama yang telah saya kenal sejak hari-hari sibuk di redaksi, menatap saya. Saya hanya menjawab pendek, “Begitu aja, bro.” Ia menyebut kebiasaan begadang saya, lalu usia kami yang mulai mendekati kepala lima. Kami tertawa kecil. Tapi saya tahu, ada ketakutan yang sedang disamarkan. Ia menarik napas. Tak marah, hanya khawatir. Lalu ia bercerita. Ring jantung. Empat. “Aku takut nggak bisa jagain anak-anakku sampai mereka besar. Aku pengin lihat anakku dewasa, menikah,” katanya pelan. Kami teringat masa lalu. Waktu tak kami hitung. Liputan dini hari. Kopi pukul dua. Deadline yang dikejar dengan adrenalin, bukan kesadaran. Saya mengangguk. Tapi bukan karena saya setuju. Hanya karena saya tak ingin menyangkal. Kami mulai bicara tentang pensiun. Tentang kampung. Tentang keinginan menulis bukan untuk dikejar tayang, tapi untuk menyapa diri sendiri. Saya teringat satu kalimat dari Seneca, filsuf dari Roma, dalam sebuah buku tentang Stoikisme: “Bukan karena hidup ini terlalu pendek. Tapi karena kita terlalu sering menyia-nyiakannya.” Dan malam itu, saya merasa sedang tidak menyia-nyiakan apa pun. Di tengah suara kendaraan yang menjauh, dan sisa aroma ikan bakar di angin yang lambat, saya merasa sedang duduk di tepi hidup sendiri. Bukan untuk menilai, tapi untuk memahami. Barangkali, selama ini kami sibuk mengejar waktu. Padahal yang seharusnya dijaga bukan itu, tapi diri. Menepi, barangkali, bukan bentuk menyerah. Tapi cara untuk memberi ruang bagi batin yang mulai ingin pulang. Kami tidak membahas ambisi. Tidak juga target. Menot Sukadana
Baca juga :
Setelah liputan di kawasan Gatsu Timur, seorang kawan lama mengajak saya makan. Bukan ajakan yang mendesak, hanya obrolan santai yang mengarah ke sesuatu yang tak kami bicarakan selama ini.
“Bro, kok makin susah diajak jalan? Nggak seperti dulu,” katanya.
Nadanya ringan. Tapi saya tahu, itu bukan sekadar tanya kangen.
Dan mungkin dari situ percakapan pelan-pelan menyusup ke dalam.
“Sudah hubungi dokter yang aku rekomendasikan?” tanyanya.
Saya menggeleng. Belum.
“Jangan ditunda, bro. Ini soal diri sendiri.”
Saya terdiam. Tak tahu harus menjawab dengan empati atau cemas. Karena ia—KP yang dulu tak pernah mengenal lelah, yang bekerja seperti tak ada esok hari—kini bicara seperti seseorang yang sedang menakar ulang hidup.
Saya tak bisa berkata apa-apa. Kadang kalimat yang terlalu jujur hanya bisa dijawab dengan diam.
“Kita nggak muda lagi, bro,” ujarnya, tertawa kecil.
Obrolan yang dulu terasa jauh—kini terasa mungkin. Bahkan mendesak.
Tubuh yang mulai menua pelan-pelan. Pikiran yang ingin lebih tenang. Hati yang ingin tahu ke mana sebenarnya langkah ini mengarah.
Hanya dua orang yang dulu sama-sama berlari, kini duduk diam sambil saling mengingatkan:
Kadang, kita memang perlu duduk sebelum tubuh memaksa kita rebah. (*)
• Ayah yang Tak Selesai
• Menjadi Seni Itu Sendiri
• Yang Tergantung di Lemari