Search

Home / Kolom / Jeda

Menepi Sebelum Dikejar Waktu

Editor   |    22 Juni 2025    |   13:53:00 WITA

Menepi Sebelum Dikejar Waktu
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

MALAM itu, Denpasar masih gaduh oleh suara jalan. Tapi kami menepi.
Setelah liputan di kawasan Gatsu Timur, seorang kawan lama mengajak saya makan. Bukan ajakan yang mendesak, hanya obrolan santai yang mengarah ke sesuatu yang tak kami bicarakan selama ini.

Kami duduk di Warung Mina, Peguyangan. Saya memesan kopi dan pisang goreng—ritual kecil yang tak pernah saya anggap remeh. Ada rasa yang tak dijelaskan dari hal-hal sederhana seperti itu, seolah waktu yang kacau bisa ditenangkan hanya dengan menyeruput pahit pelan-pelan.

KP, rekan lama yang telah saya kenal sejak hari-hari sibuk di redaksi, menatap saya.
“Bro, kok makin susah diajak jalan? Nggak seperti dulu,” katanya.
Nadanya ringan. Tapi saya tahu, itu bukan sekadar tanya kangen.

Saya hanya menjawab pendek, “Begitu aja, bro.”
Dan mungkin dari situ percakapan pelan-pelan menyusup ke dalam.

Ia menyebut kebiasaan begadang saya, lalu usia kami yang mulai mendekati kepala lima. Kami tertawa kecil. Tapi saya tahu, ada ketakutan yang sedang disamarkan.
“Sudah hubungi dokter yang aku rekomendasikan?” tanyanya.
Saya menggeleng. Belum.

Ia menarik napas. Tak marah, hanya khawatir.
“Jangan ditunda, bro. Ini soal diri sendiri.”

Lalu ia bercerita. Ring jantung. Empat.
Saya terdiam. Tak tahu harus menjawab dengan empati atau cemas. Karena ia—KP yang dulu tak pernah mengenal lelah, yang bekerja seperti tak ada esok hari—kini bicara seperti seseorang yang sedang menakar ulang hidup.

“Aku takut nggak bisa jagain anak-anakku sampai mereka besar. Aku pengin lihat anakku dewasa, menikah,” katanya pelan.
Saya tak bisa berkata apa-apa. Kadang kalimat yang terlalu jujur hanya bisa dijawab dengan diam.

Kami teringat masa lalu. Waktu tak kami hitung. Liputan dini hari. Kopi pukul dua. Deadline yang dikejar dengan adrenalin, bukan kesadaran.
“Kita nggak muda lagi, bro,” ujarnya, tertawa kecil.

Saya mengangguk. Tapi bukan karena saya setuju. Hanya karena saya tak ingin menyangkal.

Kami mulai bicara tentang pensiun. Tentang kampung. Tentang keinginan menulis bukan untuk dikejar tayang, tapi untuk menyapa diri sendiri.
Obrolan yang dulu terasa jauh—kini terasa mungkin. Bahkan mendesak.

Saya teringat satu kalimat dari Seneca, filsuf dari Roma, dalam sebuah buku tentang Stoikisme:

“Bukan karena hidup ini terlalu pendek. Tapi karena kita terlalu sering menyia-nyiakannya.”

Dan malam itu, saya merasa sedang tidak menyia-nyiakan apa pun.

Di tengah suara kendaraan yang menjauh, dan sisa aroma ikan bakar di angin yang lambat, saya merasa sedang duduk di tepi hidup sendiri. Bukan untuk menilai, tapi untuk memahami.

Barangkali, selama ini kami sibuk mengejar waktu. Padahal yang seharusnya dijaga bukan itu, tapi diri.
Tubuh yang mulai menua pelan-pelan. Pikiran yang ingin lebih tenang. Hati yang ingin tahu ke mana sebenarnya langkah ini mengarah.

Menepi, barangkali, bukan bentuk menyerah. Tapi cara untuk memberi ruang bagi batin yang mulai ingin pulang.

Kami tidak membahas ambisi. Tidak juga target.
Hanya dua orang yang dulu sama-sama berlari, kini duduk diam sambil saling mengingatkan:
Kadang, kita memang perlu duduk sebelum tubuh memaksa kita rebah. (*)

Menot Sukadana

 

Baca juga :
  • Ayah yang Tak Selesai
  • Menjadi Seni Itu Sendiri
  • Yang Tergantung di Lemari