DENGAN sepeda motor tua, jam 04.00 WITA dini hari yang berkabut dan dingin, saya membonceng anak perempuan saya menuju rumah tukang rias. Anak yang baru lulus Madrasah Ibtidaiyah—pendidikan formal setingkat SD—akan mengikuti prosesi wisuda di sekolahnya. Wisuda yang berarti peneguhan atau pelantikan, belakangan istilah ini menjadi polemik dan kontradiktif saat diaplikasikan di dunia pendidikan. Saat diterapkan untuk menandai kelulusan di perguruan tinggi, wisuda dianggap wajar dan disambut gembira. Namun, untuk kelulusan jenjang pendidikan di bawahnya, mulai TK, SD, SMP, dan SMA, istilah ini menuai kontroversi. Padahal, konteksnya sama, yaitu sebagai penanda seseorang sudah lulus jenjang pendidikan tertentu. Kalimat, bahasa, atau istilah, meskipun hakikatnya sama, sering ditempatkan sebagai tafsir tunggal untuk objek tertentu. Akibatnya, tafsir di luar objek tersebut dianggap sebagai kesalahan. Sebagai pelantikan atau pengukuhan, istilah wisuda bukan hanya hak lulusan perguruan tinggi. Jenjang pendidikan di bawahnya juga punya hak yang sama, bahkan termasuk lembaga/organisasi informal sebagai penanda seseorang sudah lulus. Biaya Sebuah acara yang melibatkan banyak orang sudah lazim membutuhkan biaya. Hal yang sama juga berlaku untuk pengukuhan, pelantikan, wisuda, atau istilah lain sebagai penanda kelulusan sekolah. Waktu saya sekolah dulu, wisuda kelulusan—yang kala itu memakai istilah “perpisahan”—jamak dilakukan. Tetap ada biaya yang berasal dari iuran peserta didik. Iuran Rp300 zaman itu lumayan besar, mengingat uang saku saya hanya Rp50. Tentu iuran itu membebani orang tua murid, tapi belum tentu dianggap menjadi beban. Sesuatu menjadi beban atau tidak, tergantung penyikapan masing-masing orang. Saya bersyukur, orang tua tidak pernah protes soal biaya-biaya yang berkaitan dengan pendidikan anak-anaknya, meski mereka tergolong orang kurang mampu dari segi ekonomi. Bagi orang tua saya—dan mungkin banyak orang tua lainnya—biaya yang timbul untuk pendidikan anak-anaknya merupakan investasi masa depan. Prinsip yang sederhana: saat masa depan anak-anaknya baik, akan baik pula masa tua mereka. Biaya dalam dunia pendidikan, atau lebih spesifik sekolah, merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Gelontoran dana dari pemerintah lewat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maupun bantuan lainnya, secara faktual masih membutuhkan partisipasi biaya dari orang tua—minimal untuk mencukupi kebutuhan personal anak-anaknya. Dihilangkannya sumber dana sekolah melalui Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) ataupun Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan dan Pengembangan (BP3), bukan sama sekali menghilangkan kewajiban orang tua untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Justru harusnya terjadi kolaborasi antara dana BOS dan partisipasi orang tua untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan. Dengan manajemen dan transparansi yang baik, manfaat terbesar akan jatuh pada peserta didik. Kecurigaan Sikap kritis ataupun antipati terhadap wisuda untuk lulusan selain perguruan tinggi muncul dari persepsi sekolah gratis. Sehingga saat ada biaya sekolah, termasuk wisuda, kecurigaan menjadi pendapat yang menempatkan sekolah sebagai figur antagonis. Kontrol dari orang tua murid maupun masyarakat terhadap sekolah sangat wajar, bahkan wajib. Namun, kontrol yang didasari rasa curiga, skeptis, apalagi karena rasa tidak suka, akan menciptakan pendapat yang tidak objektif, yang sering kali sepenuhnya hanya berdasar asumsi, bukan fakta. Dalam konteks wisuda, acara tersebut bukan semata-mata soal biaya. Ada keterkaitan dengan psikologi anak—yang gembira dan bangga mereka lulus jenjang pendidikan. Kenangan, yang merupakan unsur penting dalam hidup manusia, juga akan mereka dapat dalam acara wisuda. Jadi, dari sisi arti harfiah dan sejarah, wisuda selain untuk lulus perguruan tinggi bukan persoalan yang rumit. Sekali lagi, istilah ini sama dengan perpisahan, pengukuhan, pelantikan, atau graduation. Sekolah tinggal memilih saja mana istilah yang mereka suka. Kontrol terhadap pelaksanaan acara ini tentu bisa dilakukan dengan kewajiban sekolah memberikan transparansi terkait biaya—karena hal itu yang selalu menjadi titik kecurigaan. Sepanjang biaya iuran itu wajar dan transparan, kenapa harus dipermasalahkan? Gembong Ismadi (Jurnalis tinggal di Jembrana, Bali)
Baca juga :
• Nelayan Yang Sekolah
• Sampah Plastik
• Bali Aman untuk Siapa?