Search

Home / Kolom / Jeda

Ayah yang Tak Selesai

Editor   |    21 Juni 2025    |   19:40:00 WITA

Ayah yang Tak Selesai
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

TIDAK semua kehilangan datang dengan air mata. Kadang, ia hadir lewat lagu—dan hening.

Pagi itu, How Do I Say Goodbye mengalun pelan, dan seorang teman lama yang duduk di dekat saya hanya menunduk. Tak ada tangisan. Tak ada kalimat. Tapi saya tahu, ada duka yang tetap tinggal meski waktu sudah lama berjalan.

Lagu itu ditulis Dean Lewis saat ayahnya divonis sakit berat. Ia menyanyikannya dengan ketakutan yang tak sempat diucapkan, seolah berpacu dengan waktu yang nyaris habis. Tapi ayahnya selamat. Maka lagu itu, yang awalnya terasa seperti surat perpisahan, perlahan berubah menjadi pengingat: bahwa cinta tak pernah benar-benar siap ditinggal. Bahwa kehilangan, meski tidak terjadi hari ini, tetap terasa seperti pintu yang mulai menutup pelan-pelan.

Dari situ, ingatan saya melompat ke dua nama besar dalam sepak bola: Adriano Leite Ribeiro dan Cristiano Ronaldo. Keduanya laki-laki tangguh di lapangan, tapi rapuh ketika berhadapan dengan kehilangan yang sama: ayah.

Adriano, Sang Kaisar Brasil, kehilangan ayahnya saat berada di puncak karier. Telepon yang mengabarkan kematian itu memutus bukan hanya hubungan darah, tapi juga semangat hidup. Pelan-pelan, ia menjauh dari lapangan. Alkohol dan sepi menggantikan sorak stadion. “Ia seperti kehilangan jiwanya,” kata Zanetti—bukan menghakimi, tapi menyayangkan.

Cristiano Ronaldo juga kehilangan ayahnya. Bukan secara tiba-tiba, tapi perlahan—karena alkohol lebih dulu mengambil sebagian besar kesadaran sang ayah, jauh sebelum ajal. Ronaldo besar tanpa sempat merasakan pelukan yang penuh. Dalam sebuah wawancara, ia menangis saat melihat video lama ayahnya berbicara bangga tentang dirinya. Bukan karena ia belum pernah mendengar itu, tapi karena ia tak pernah benar-benar bersamanya dalam keadaan sadar.

Ada kehilangan yang mengguncang, ada pula yang mengendap diam. Tapi keduanya tetap melahirkan ruang kosong yang tak bisa digantikan siapa pun. Dalam bukunya A Grief Observed, penulis dan filsuf C.S. Lewis mencatat: “Tak seorang pun pernah memberitahuku bahwa duka terasa begitu mirip dengan rasa takut.”

Duka, kata Lewis, tak hanya menyakitkan—tapi juga membuat dunia terasa tak lagi pasti. Kita tetap hidup, tetap berjalan, tetap bernapas, tapi seperti orang yang kehilangan arah—karena yang hilang bukan hanya seseorang, tapi juga tempat kita berpulang.

Itu sebabnya, kehilangan seorang ayah bukan peristiwa yang bisa selesai hanya karena waktu berlalu. Ia menetap di dalam diri, seperti luka lama yang tak lagi berdarah tapi tetap terasa ketika disentuh. Namun dari kehilangan itu, ada yang memilih diam, dan ada pula yang memilih tumbuh.
Adriano tenggelam, Ronaldo mendaki. Ia tidak ingin anak-anaknya merasa kosong seperti yang pernah ia alami. Ia memilih hadir, penuh, utuh—menjadi ayah yang tak selesai digantikan siapa pun.

Dan mungkin itu satu-satunya cara berdamai dengan duka: Bukan dengan melupakannya, tapi dengan merawatnya—agar ia tidak berubah menjadi gelap, tapi menjadi akar.

Bagi sebagian dari kita, ayah adalah kompas. Ketika ia tiada, kita berjalan dengan kaki yang masih kuat, tapi tak tahu arah pulang. Dan meski waktu berjalan, ada ruang dalam diri yang tetap kosong—bukan karena belum diisi, tapi karena memang tak tergantikan.

Lagu itu pun berakhir. Tapi bagi teman saya, dan mungkin bagi banyak dari kita, perpisahan dengan ayah tidak pernah benar-benar selesai. Ia hanya berpindah bentuk—dari pelukan menjadi kenangan, dari suara menjadi sunyi yang lama tinggal.

Dan di sana, di antara jeda itu, kita belajar bahwa yang paling menyakitkan bukan kehilangan itu sendiri, tapi kata-kata yang tak sempat kita ucapkan. (*)

(Menot Sukadana)

Baca juga :
  • Menjadi Seni Itu Sendiri
  • Yang Tergantung di Lemari
  • Rumah yang Ditemukan