Search

Home / Kolom / Editorial

Bhayangkara di Titik Balik Sejarah

Editor   |    01 Juli 2025    |   10:08:00 WITA

Bhayangkara di Titik Balik Sejarah
Editorial. (Podiumnews)

HARI Bhayangkara kembali tiba, mengingatkan kita pada perjalanan panjang Kepolisian Republik Indonesia. Dari seragam pribumi di bawah pendudukan Jepang, menjadi barisan pengawal Republik, hingga bertransformasi menjadi lembaga sipil profesional pada era Reformasi. Di Bali, sejarah itu terpatri jelas dalam memori kolektif. Setiap lembar perjuangan selalu melibatkan sosok polisi yang harus memilih, taat kepada kekuasaan atau mengabdi kepada rakyat.

Pada masa penjajahan Jepang, keberadaan Tokubetsu Keisatsutai dan dominasi Kempeitai membentuk awal sejarah kepolisian modern di Nusantara. Polisi pribumi memang berada di bawah bayang-bayang kekerasan, tapi di situlah sebagian benih disiplin dan keteraturan ditanam. Ketika Proklamasi 1945 dikumandangkan, banyak dari mereka memilih berpihak pada republik. Di Bali, mereka bergabung dengan laskar rakyat dan pasukan Ciung Wanara, menjaga merah putih agar tetap berkibar di tengah upaya Belanda kembali berkuasa.

Era Orde Lama dan Orde Baru menjadi babak konsolidasi. Dari pembentukan kepolisian nasional hingga pengintegrasian ke dalam struktur militer (ABRI), institusi ini membangun fondasi birokrasi dan kekuatan. Namun pada saat yang sama, mereka juga dibebani peran sebagai penjaga stabilitas politik. Di Bali yang tengah tumbuh sebagai destinasi wisata dunia, kepolisian menghadapi tantangan ganda. Menjaga keamanan umum dan melindungi sentra ekonomi pariwisata. Penambahan markas, pelatihan, dan fasilitas meningkat, tetapi bayang-bayang politik kekuasaan tak pernah benar-benar jauh.

Lalu datang Reformasi. Tahun 1999, Polri resmi dipisahkan dari TNI. Titik balik yang mengubah arah sejarahnya. Di Bali, pemisahan ini diuji secara nyata setelah bom mengguncang Pulau Dewata dua kali pada tahun 2002 dan 2005. Sejak itu, kepolisian dituntut menjadi lebih dari sekadar pengayom. Mereka harus tanggap terhadap kejahatan modern seperti terorisme, siber, narkotika lintas negara, dan kejahatan transnasional lainnya. Profesionalisme menjadi kebutuhan, bukan sekadar jargon.

Namun tantangan hari ini lebih dari soal teknologi atau intelijen. Polisi Indonesia, termasuk di Bali, dihadapkan pada sorotan publik yang terus tumbuh. Kamera ponsel warga, laporan media, dan media sosial menjadikan tiap tindakan aparat berada dalam pengawasan konstan. Harapan publik pun berubah. Mereka tidak hanya ingin polisi yang tegas, tetapi juga yang empatik, adil, dan akuntabel.

Hari Bhayangkara bukan semata upacara. Ia adalah cermin. Refleksi tentang seberapa dekat polisi berdiri bersama rakyat. Apakah mereka tetap menjadi pelindung yang menjunjung keadilan atau justru berjarak karena kekuasaan. Di Bali, yang hidup dari harmoni dan rasa aman, peran polisi tak tergantikan. Namun rasa aman itu tidak lahir dari senjata, melainkan dari kepercayaan.

Polisi hari ini harus belajar dari sejarahnya sendiri. Dari keberanian para pendahulu, dari luka-luka masa lalu, dan dari harapan generasi baru. Bhayangkara tak boleh terjebak nostalgia kejayaan masa silam, tapi harus menjadi wajah hukum yang jernih dan manusiawi di zaman yang terus berubah.

Maka pada Hari Bhayangkara ini, mari berharap dan menagih komitmen. Bahwa polisi Indonesia, di tengah segala tantangan dan dinamika zaman, tetap setia pada sumpahnya. Melindungi, mengayomi, dan melayani. Bukan demi kekuasaan, tapi demi rakyat yang sejak awal menjadi alasan berdirinya republik ini. (*)

Baca juga :
  • Bali dan Denyut Baru Pariwisata
  • Menelisik Bali Lewat Sorot
  • Hak Gizi, Bukan Kompromi